JAKARTA – Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengakui kecenderungan dilarikannya hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri oleh koruptor. “Sebagai bentuk pencucian uang,” ujar Akil dalam sebuah seminar di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tadi malam.
Untuk melacak serta menyita aset terdakwa yang ada di luar negeri, Akil mengatakan pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antikorupsi Tahun 2003 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Melalui undang-undang itu, pemerintah dapat melakukan perjanjian untuk memberikan dan/atau meminta bantuan negara lain dalam masalah pidana. Pemerintah pun, diakui Akil, telah meratifikasi Treaty on Mutual Legal Assistance dengan menerbitkan UU Nomor 15 Tahun 2008 mengenai Pengesahan Perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Namun, Akil menilai jumlah perjanjian bantuan timbal balik yang diratifikasi Indonesia, berbanding terbalik dengan upaya pemiskinan para terdakwa korupsi. Akil memandang pemerintah harus lebih progresif dalam melakukan kerja sama antarnegara untuk melacak aset hasil korupsi.
Lebih lanjut, Akil menjelaskan upaya pemiskinan koruptor sebagai sanksi pidana berupa penyitaan atau perampasan aset terpidana yang diperoleh melalui korupsi. Ketentuan penyitaan tersebut, dikatakan Akil, tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 39 ayat (1) KUHP menyebutkan barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Namun dalam penerapan UU Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sanksi penyitaan atau perampasan aset hanya diterapkan pada pelaku pidana korporasi.
Sedangkan untuk pelaku perorangan, penyitaan atau perampasan aset hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah meninggal sebelum dijatuhkan putusan. Atau apabila PPATK menghentikan sementara transaksi keuangan yang dicurigai merupakan hasil kejahatan, dan tidak ada pihak yang keberatan dengan penghentian sementara ini.
Namun Akil mengatakan Pengadilan perlu mempertimbangkan UU Nomor 31 Tahun 1999 apabila tindak pidana pencucian uang yang dilakukan terdakwa merupakan hasil korupsi. Undang-undang tersebut, menurut Akil, memberikan kewenangan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang dari terdakwa yang merupakan hasil korupsi. Akil menyebut kasus Gayus Tambunan sebagai contoh.
Pada putusan perkara Gayus, majelis hakim tak hanya menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda. Majelis hakim juga menjatuhkan sanksi pidana tambahan dengan menyita harta kekayaan Gayus. Putusan tersebut dinilai Akil merupakan terobosan hukum dalam upaya pemiskinan koruptor.
(dat06/tempo/antara/wol)