Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki mengatakan, pernyataan yang timbul adalah tidak nampak upaya nyata dari kalangan masyarakat untuk mengentaskan stigma yang diberikan kepada anak lahir di luar perkawinan.
“Tidak ada, baik dari masyarakat umum maupun dari kalangan tertentu. Tidak ada upaya tersebut, dibiarkan saja. Anak yang lahir di luar perkawinan, mau sekolah juga sulit, bahkan sering diejek teman-temannya,” ujar Achmad Sodiki yang didampingi Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Maria Farida Indrati, menjawab tanggapan delegasi Pimpinan Pusat Aisyiyah terhadap Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Sodiki merasa heran bahwa hukum lebih melindungi laki-laki yang begitu bebas berbuat zina, yang kemudian jika menghamili wanita, ia dibebaskan dari tanggung jawab keperdataan. Terlebih lagi, lanjut Sodiki, seakan-akan zina dilegalisasi melalui lokalisasi pelacuran.
“Mengapa hukum lebih tega kepada perempuan, yang harus menanggung segala akibat dari perbuatan zina serta menyantuni anak yang lahir di luar perkawinan? Padahal yang berbuat dua orang. MK memutuskan sidang bukanlah semata berdasarkan rasional, tetapi juga berdasarkan perasaan,” urai Sodiki.
Sodiki juga prihatin dengan banyaknya wanita yang hamil di luar nikah, yang menggugurkan bayinya, bahkan membuang bayinya begitu saja. Ironisnya, ujar Sodiki, yang justru sering dihukum dan masuk bui adalah wanitanya, bukan laki-lakinya. “Saya jarang mendengar ada laki-laki dihukum karena berbuat zinah,” imbuh Sodiki.
Sementara itu, Hakim Maria Farida Indrati mengungkapkan, dalam memutuskan perkara No. 46/PUU-VIII/2010, MK telah mempertimbangkan secara mendalam. Menurut Maria, tidak memutuskan perkara tersebut, karena bagaimanapun suatu hukum positif yang kemudian bersumber pada hukum moral, hukum adat dan hukum agama, sulit sekali untuk dirumuskan.
“Tapi dengan melihat sebuah perkawinan dari keabsahannya, kepatutan dan kenegaraannya, maka semua pihak mesti melihat bahwa hal-hal tersebut untuk kita semua,” ucap Maria.
Dikatakan Maria, pencatatan perkawinan oleh negara demi kepastian hukum, hal itu memang perlu. Dengan demikian, kata Maria, dalam putusan MK Perkara No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan merupakan syarat administrasi yang sebetulnya menjamin seseorang bisa memiliki bukti.
“Pencatatan perkawinan bukan hanya disyaratkan dalam hukum positif, tetapi juga tidak dicatatkan sebuah perkawinan karena memang membuat akte nikah itu sulit dan mahal. Hal-hal seperti itulah yang menjadi pertimbangan MK secara panjang lebar,” kata Maria.
Selanjutnya, Hakim Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan putusan MK yang menyatakan UU No. 1/1974 Pasal 2 ayat (2) yang menentukan keharusan pencatatan perkawinan adalah konstitusional. “Anak luar kawin memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibu tidak konstitusional bila meniadakan hubungan laki-laki yang menyebabkan hamilnya perempuan dengan anak tersebut,” ucap Fadlil.
Di samping itu, lanjut Fadlil, UU No. 1/1974 unifikasi dalam perspektif formal dan pluralisme dalam perspektif materiil. Sedangkan hukum materiil dalam dalam UU No. 1/1974 berlaku hukum agama bagi masing-masing pasangan perkawinan.
“Jadi ‘Tidak Ada Hukum Agama yang Ditabrak’ oleh Putusan MK tersebut mengenai anak luar kawin karena tentang anak berlaku berbagai pranata hukum yang masih memungkinkan dirumuskannya kembali hukum hukum agama,” tandas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)