Hakim Konstitusi Anwar Usman menjadi pembicara diskusi terbatas yang bertema “Pengujian Undang-Undang (PUU) dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN),” di Ruang Komisi A, Menara Syafruddin Prawira Negara, Bank Indonesia (BI), oleh Departemen Hukum BI, Jumat (13/4).
Menurut Anwan Usman, terdapat sejumlah orang yang mengkritisi atau berkomentar bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh membuat norma baru. Namun, Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam kesempatan ini mengatakan bahwa tujuan penegakan hukum di Indonesia termasuk MK adalah bukan sekedar menjadi corong aturan, namun lebih dari itu harus bisa menegakkan hukum yang berkeadilan.
Lebih dari itu, menurut Anwar, dalam perintah yang terkandung dalam UUD 1945, menegakan keadilan, bukan sekedar menegakan keadilan prosedural, tetapi juga menegakkan keadilan substantif. “Dan itu lebih utama yaitu, norma baru,” terangnya.
Sebelumnya, kegiatan yang dimulai jam 13.30 WIB, dan dihadiri puluhan petinggi BI, salah satunya adalah Direktur Departemen Hukum BI bermaksud lebih mengetahui bagaimana beracara di MK, terutama dalam sidang PUU dan SKLN yang selama ini sudah berlangsung di MK. “Satu hal yang membingungkan dan seringkali mengundang multitafsir terkait dengan hak konstitusi. Ada warga yang terganggu konstitusinya, sehingga menimbulkan hak konstitusinya untuk mengajukan pengujian di MK,” kata Direktur bidang Hukum BI tersebut, kepada Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Untuk menanggapi hal tersebut, Anwar mulai melakukan pemaparannya dengan rinci terkait dengan bagaimana melakukan hukum beracara di MK, khususnya Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara. Menurutnya, dalam Pasal 51 UU MK sudah secara jelas bagaimana warga negara melakukan permohonan di persidangan MK. Misalnya, ayat (1) berbunyi, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.”
Disisi lain, kata Anwar, hasil putusan yang digunakan oleh MK, ada 3 (tiga) yakni “tidak dapat diterima.” Maksudnya, apabila secara formil Pemohon tidak memenuhi syarat formal atau tidak mempunyai legal standing (kedudukan hukum pemohon). Kemudian “dikabulkan” apabila secara formal Pemohon mempunyai legal standing, dan permohonan Pemohon beralasan secara hukum. Dan yang terakhir “ditolak”, apabila Pemohon mempunyai legal standing, namun permohonanya tidak beralasan hukum.
Hal yang sama juga ada dalam SKLN. Menurut Anwar, yang membedakan antara PUU dengan SKLN, salah satunya adalah syarat menjadi Pemohon. Kalau PUU, Pemohon bisa diajukan atas nama lembaga dan juga perorangan, namun untuk SKLN yang menjadi Pemohon hanya sebuah lembaga negara yang diatur dalam konstitusi.
Sementara dalam kesempatan tersebut, ada peserta diskusi yang menanyakan terkait dengan pasal apabila bertentangan UUD 1945, apakah hal demikian bisa dibatalkan oleh MK, dan bagaimana penjelasannya. Menurut Anwar, MK akan membatalkan sebuah sebuah pasal apabila bertentangan UUD 1945. “Jangankan pasal, kata pun andaikata melanggarkan hak konstitusional Pemohon, akan dibatalkan oleh MK,” ucapnya.
Lebih lanjut, Anwar menjelaskan walaupun sebagai lembaga negatif legislator yang menyatakan suatu norma tidak bertentangan dengan UUD, MK juga sering membuat norma baru. “Seperti konstitusional bersyarat,” terangnya. Seperti UU Perkawinan yang diujikan oleh Macicha Mochtar. Menurutnya, dalam UU tersebut anak hanya mempunyai hubungan dengan ibu kandung. “Namun dengan keputusannya, ditambah oleh MK tidak hanya dengan ibu dan keluarganya, tetapi yang menyebabkan dia lahir yakni bapak biologisnya.” (Shohibul Umam/mh)