Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Eddie Widiono Suwondho melalui kuasa hukumnya mengajukan pengujian Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 huruf a Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jumat (13/4). Pemohon Perkara yang teregistrasi dengan nomor 31/PUU-X/2012 pada persidangan ini diwakili kuasa hukumnya, yaitu Maqdir Ismail dkk. Maqdir menyampaikan seharusnya Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berhak menilai atau menetapkan jumlah kerugian negara yang berhak hanyalah Badan pemeriksa Keuangan (BPK).
Pasal 6 huruf a UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK, red) sendiri berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.” Sedangkan penjelasan Pasal 6 huruf a UU KPU berbunyi, “Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.”
Menurut Maqdir, sesuai Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, satu-satunya lembaga negara yang bertugas dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menilai atau menetapkan jumlah kerugian negara adalah BPK. Kalau BPKP ikut bertanggung jawab dalam menilai atau menetapkan kerugian negara nantinya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Maqdir juga menambahkan bahwa adanya MoU antara KPU dan BPKP dalam pemberantasan korupsi juga menimbulkan pengertian bahwa BPKP dapat menilai kerugian keuangan negara layaknya BPKP.
“Keberadaan pasal a quo dan penjelasannya telah berpotensi menghilangkan kepastian hukum karena memungkinkan bagi seseorang yang mengaku atau merasa memegang posisi pimpinan KPK bisa dengan mudah menyalahgunakan kewenangannya membuat keputusan dan kebijakan atas nama KPK,” ujar Maqdir menyampaikan “bentuk” kerugian konstitusional yang diderita Prinsipal Pemohon, Eddie.
Lebih konkrit, Maqdir menjelaskan bahwa salah satu contoh penyalahgunaan kewenangan itu dilihat dari kerja sama antara KPK dengan BPKP saat menghitung kerugian negara yang menimbulkan kasus dugaan korupsi di PLN yang melibatkan kliennya. “Pemohon telah dirugikan dalam proses penetapan Pemohon sebagai tersangka karena hanya berdasarkan Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilakukan tanpa adanya penghitungan kerugian negara yang seharusnya dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK),” jelas Maqdir.
Kala itu, lanjut Maqdir, seorang ahli dari BPKP menyebutkan bahwa kliennya telah melakukan tindak korupsi. Dengan adanya seorang ahli dari BPKP yang menyampaikan bahwa Eddie melakukan korupsi, artinya BPKP merasa memiliki kewenangan atau tanggung jawab untuk menilai adanya kerugian keuangan negara. “Itu inkonstitusional karena kedudukan BPKP sebagai bagian dari pemerintah tidak lagi berfungsi dan berwenang memeriksa indikasi penyimpangan yang merugikan negara yang dilakukan oleh BUMN dan badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah. Satu-satunya lembaga negara yang bertugas dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menilai atau menetapkan jumlah kerugian negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23 E ayat (1) adalah BPK,” tukasnya.
Terhadap semua dalil yang disampaikan, Maqdir kemudian meminta Mahkamah dalam petitum permohonan dalam provisi untuk memerintahkan Pimpinan KPK untuk menghentikan atau sekurang-kurangnya menunda pemeriksaan di Pengadilan Tinggi terkait kasus yang menimpa kliennya. (Yusti Nurul Agustin/mh)