Materi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) diuji di Mahkamah Konstitusi, Jum’at (13/4/2012) siang. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 33/PUU-X/2012 ini dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi yang diketuai Maria Farida Indrati didampingi dua anggota, Muhammad Alim dan Anwar Usman.
Pengujian materi UU Kepolisian ini diajukan oleh seorang warga bernama Erik. Erik mengujikan delapan norma materi UU Kepolisian, yaitu Pasal 15 ayat (1) huruf g, Pasal 15 ayat (2) huruf a, Pasal 15 ayat (2) huruf b, Pasal 15 ayat (2) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (2).
Erik yang hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum, keberatan mengenai kewenangan perizinan yang diselenggarakan oleh Kepolisian sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Kepolisian yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E UUD 1945. Erik mendalilkan penggunaan kata “…kegiatan masyarakat lainnya…” yang dikaitkan dengan kewenangan pemberian izin, memberi batasan kewenangan yang tidak jelas. Selain itu berpotensi menimbulkan penyelewengan serta tidak memberikan kepastian hukum karena luasnya cakupan kegiatan masyarakat.
Kemudian, mengenai pemberian kewenangan memberlakukan surat izin mengemudi kendaraan bermotor dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c UU Kepolisian. Menurutnya, ketentuan tersebut telah melebihi kewenangan dan membatasi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Sebab, kegiatan menjalankan ataupun mengendarai kendaraan bermotor adalah bagian dari pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga telah menjadi hak asasi manusia.
Berlakunya ketentuan pemberian kewenangan perizinan pada Pasal 15 ayat (2) huruf c berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan oleh pihak yang diberi kuasa dan menghambat aktifitas dan potensi masyarakat dalam meningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Pemberian kewenangan izin dalam mengemudi sangat tidak tepat dan akan lebih tepat jika diganti dengan tugas dan kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendaftaran atau registrasi pengemudi kendaraan bermotor dalam rangka mengidentifikasi atau mengetahui pihak-pihak yang mengemudikan kendaraan. Kegiatan penyelenggaraan registrasi biayanya harus dibebankan kepada negara, bukan kepada warga negara sebagaimana halnya dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Erik dalam permohonannya meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (1) huruf g, Pasal 15 ayat (2) huruf a, b, dan c; Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) dan (2), UU Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan Erik, majelis hakim menyampaikan saran atau nasihat. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasihati Erik agar memperbaiki kedudukan hukum (legal standing), menguraikan kerugian konstitusional, hubungan sebab-akibat berlakunya ketentuan UU Kepolisian yang menimbulkan terlanggarnya hak konstitusional Erik, dan menyarankan Erik agar memperbaiki teknik penulisan permohonan, serta membuat keterkaitan antarpasal yang diujikan dengan pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji. Kemudian mengenai pokok permohonan, Maria melihat Erik telah membuat ulasan dalam permohonannya, namun tidak mencerminkan apa sesungguhnya yang membuat hak konstitusional Erik dirugikan. “Kenapa Anda dirugikan oleh pasal tersebut?” tanya Maria.
Hakim Konstitusi Anwar Usman menasihati Erik agar menyusun sistimatika permohonan dengan baik dan benar dengan menyontoh permohonan yang ada di Kepaniteraan MK. Sedangkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim antara lain menyoroti ketentuan pasal yang diujikan, yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf a yang menyatakan: “memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya.” Alim menanyakan siapa yang berwenang memberikan perizinan seandainya MK membatalkan ketentuan tersebut. “Kalau ini di-drop, lalu siapa yang memberikan izin?” tanya Alim. (Nur Rosihin Ana/mh)