Jakarta, Pelita
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai elemen (LSM) seperti ICW, IDSPS, Kontras, AJI, Imparsial, dan LBH Jakarta menolak UU Penangan Konflik Sosial (PKS) yang disahkan DPR Rabu (11/4), dan segera diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena UU itu dinilai prematur dan dipaksakan.
"Paling lambat 30 hari setelah UU PKS disahkan sebagai lembaran negara, kami akan mengajukan 'judicial review' kepada MK," tegas anggota Imparsial Al Araf dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta Timur, Kamis (12/3).
Al Araf juga menilai masih banyak terdapat pasal bermasalah dan tidak mengalami perubahan yang substansif. Dikatanya, ada tiga hal yang mendasari penolakan UU tersebut, pertama, proses pembentukan UU PKS cacat hukum dan bertentangan dengan tata cara pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU nomor 12/2001.
Kedua, urgensi pembentukan UU PKS saat ini tidak jelas dan tidak kuat, baik secara yuridis, filosofis, maupun secara sosiologis. Kolaisi masyarakat sipil menganggap UU ini bertentangan dengan konstitusi 1945 sebagai norma hukum tertinggi. “UU ini berpotensi menimbulkan masalah baru bagi demokrasi dan HAM,” ujar dia.
Ketiga, UU itu memungkinkan militer untuk mengatasi konflik sipil, seperti yang dilakukan buruh atau mahasiswa, padahal itu berda di wilayah penanganan Polri. Pelibatan TNI dalam mengatasi konflik dalam UU PKS dinilainya tidak tepat karena berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 masalah tersebut diatur tersendiri dalam UU Tugas Perbantuan.
Al Araf menambahkan, adanya pelibatan TNI dalam UU PKS tanpa terlebih dahulu membuat UU Tugas Perbantuan berpotensi menimbulkan tumpang tindih fungsi antarpihak keamanan, terutama antara TNI dan Polri.
"Pemberian hak bagi kepala daerah untuk menyatakan kondisi konflik dalam wilayahnya mulai dari kabupaten/kota hingga provinsi juga terkesan negara ingin melepaskan tanggung jawab," katanya.
Hal senada juga disampaikan Asisten Peneliti dari Institut Studi Pertahanan, Kemanan dan Perdamaian (IDSPS) Barikatul Hikmah yang mengatakan Pasal 16 UU PKS tersebut telah keliru dalam merumuskan skala konflik sosial yang didasarkan pada wilayah administratif kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
"Dalam logika konflik sosial, skala atau ukurannya didasarkan pada potensi eskalasi tinggi-rendah ancaman konflik itu," katanya.