Pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia, sekaligus salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min, Desa Ngruki, Jawa Tengah, Abu Bakar Ba’asyir (Pemohon), dalam permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal demikian terungkap ketika MK, Rabu (11/4), dalam putusan No. 16/PUU-IX/2011 ini menyatakan “Dalil Pemohon untuk sebagian ne bis in idem, sedangkan untuk selebihnya tidak beralasan menurut hukum,” ucap Mahfud MD, selaku pimpinan sidang.
Ba’asyir, melalui kuasa hukumnya, dalam perkara ini mengujikan Pasal 21 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UU Nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Ba’asyir, Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Rincian ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU tersebut menyebutkan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Menurut Mahkamah, pasal tersebut sudah pernah diputus dalam permohonan No. 018/PUU-IV/2006, tanggal 20 Desember 2006 dan permohonan No. 41/PUU-VIII/2010, tanggal 10 Maret 2011. Dalam putusan No. 018, Mahkamah berpendapat, Pasal 21 ayat (1) tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan tersebut ditolak. Sedangkan untuk No. 41, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian yang dialami para Pemohon karena adanya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.
Karena norma yang diuji sama, dan pasal yang dijadikan pengujian yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat, dalam permohonan pengujian atas pasal tersebut adalah ne bis in idem. “Sehingga pertimbangan hukum dan amar putusan dalam perkara Nomor 018/PUU-IV/2006, tanggal 20 Desember 2006, mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo,” tutur Mahkamah.
Ditolak
Oleh sebab itu, Mahkamah hanya mempertimbangkan Pasal 95 ayat (1) beserta penjelasannya terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal tersebut adalah, “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”
Sedangkan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) yakni, "Kerugian karena dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.”
Dalam ketentuan tersebut, Ba’asyir mendalilkan dengan berlakunya Pasal 95 ayat (1) KUHAP beserta Penjelasannya telah membatasi hak Pemohon untuk meminta ganti rugi atas tindakan yang dianggap oleh Pemohon sebagai tindakan berlebihan (excessive) yang dilakukan oleh polisi/ penyidik pada saat proses penangkapan dan penahanan. Namun proses tindakan tersebut, menurut Mahkamah, memang tidak boleh terjadi. “Akan tetapi hal tersebut merupakan tindakan konkrit yang bukan merupakan persoalan norma yang menjadi kewenangan Mahkamah,” tulis Mahkamah.
Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon, lanjut Mahkamah, bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP beserta Penjelasannya yang mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum, akan tetapi adalah penerapan norma hukum dimana telah diatur cara-cara penyelesaiannya.
Disisi lain, terkait dengan praktik yang selama ini terjadi dalam penerapan KUHAP, yaitu Pasal 95 ayat (1) dan Penjelasannya yang dipandang kurang melindungi hak tersangka atau terdakwa, menurut Mahkamah, adalah berada dalam ranah penerapan hukum dan bukan masalah konstitusionalitas norma.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pasal 95 ayat (1) KUHAP beserta Penjelasannya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. “Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” tulis Mahkamah dalam amar putusannya. (Shohibul Umam/mh)