Sidang perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, khususnya pada Pasal 57 huruf c dan d kembali digelar di Ruang Sidang Pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/4). Sidang dengan nomor perkara 4/PUU-X/2012 itu dipimpin langsung oleh Ketua Pleno sekaligus Ketua MK, Moh Mahfud MD. Sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan satu orang ahli dari Pemohon dan dua orang ahli dari Pemerintah.
Para Pemohon, yaitu Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Ryan Muhammad, Bervilia Sari, Erwin Agustian, dan Eko Santoso pada persidangan kali ini menghadirkan Asvi Warman Adam selaku ahli. Asvi sendiri kerap menjadi ahli dalam persidangan terkait penggunaan lambang negara, terutama penggunaan lambang Garuda Pancasila. “Saya juga pernah menjadi ahli dalam persidangan penggunaan lambang Garuda pada kaos timnas PSSI ketika melawan Malaysia,” ujar Asvi memulai keterangannya.
Asvi menjelaskan terkait kasus penggunaan lambang Garuda di kaos timnas PSSI kala ini menjadi bukti bahwa Pasal 57 huruf c dan d UU Bendera, Bahasa, dan lambang Negara serta Lagu Kebangsaan mempunyai kelemahan karena membahayakan warga negara. Sebab, pasal tersebut dapat memidanakan semua warga negara yang menggunakan lambang Garuda, termasuk juga semua anggota timnas PSSI kala itu. “Saya anggap Pasal 57 huruf c dan d UU No. 24 Tahun 2009 itu membahayakan timnas PSSI dan juga supporter karena memakai lambang Garuda di kaos mereka,” ujar Asvi.
Lebih lanjut, Asvi mengatakan penggunaan lambang Garuda Pancasila sebenarnya sudah marak dipakai masyarakat biasa setelah masa kemerdekaan. Ia mengungkapkan bahwa Presiden Soekarno pada tahun 1958 berpidato sembari mengatakan bahwa di seluruh Indonesia, di kampong-kampung, rakyat membuat lambang Garuda Pancasila. Lambang Garuda Pancasila ditorehkan rakyat di dinding-dinding gapura sebagai tanda kecintaan rakyat terhadap lambang Garuda Pancasila itu. “Pasal 57 huruf c itu telah menyebabkan kecintaan masyarakat terhadap lambang negara Indonesia terancam pemidanaan, masyarakat bisa ditangkap kapan saja, UU ini berpotensi merugikan masyarakat,” tegas Asvi.
Sedangkan ahli dari Pemerintah yang dihadirkan dalam sidang kali ini, yaitu Udin S Winata Putra dan Kaelan MS. Udin yang mendapat kesempatan lebih dulu menyampaikan, menurutnya bahwa Pasal 57 huruf c dan d tidak melanggar prinsip kebebasan berpikir, berkehendak, serta berfikir, dan berkumpul. Kebebasan berpikir menurut Udin tidak bisa diartikan secara tanpa batas sehingga menyebabkan setiap orang boleh melanggar ketentuan yang berlaku. Terkait penggunaan lambang Garuda Pancasila sebagai embedding values and moral symbol negara Indonesia merupakan organisasi tertinggi yang memiliki coercive instrument sehingga tidak etis untuk mendegradasikan lambang Garuda Pancasila dengan cara mengotak-atik tampilan simboliknya.
Sementara Kaelan dalam kesimpulan keterangannya menyampaikan bahwa penggunaan lambang negara secara bebas memiliki konsekuensi penggunaan kekuasaan negara, legitimasi nnegara, otoritas negara, serta mempresentasikan negara. “Konsekuansinya, hal itu menimbulkan kerancuan bahkan kekacauan birokrasi kekuasaan, otoritasm kegitimasi, serta representasi negara. Rakyat diberikan kebebasan seluas-luasnya bahkan dianjurkan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, tidak ternbatas pada penggunaan lambang negara saja sebenarnya. Jadi justru yang utama adalah mengaktualisasikan substansi dan nilai-nilai Pancasila, bukan lambang negara,” tutup Kaelan. (Yusti Nurul Agustin/mh)