Jakarta, MK Online - Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 dan UU Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010 menyatakan setiap penggunaan Dana PIP harus dibahas terlebih dahulu dengan komisi DPR terkait. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Bisnis UGM Mudrajad Kuncoro selaku ahli dalam sidang lanjutan sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden RI dengan BPK dan DPR yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (10/4), di Ruang Sidang Pleno MK. Presiden RI tercatat menjadi Pemohon dalam perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/SKLN-X/2012.
Selain itu, dalam keterangannya, Mudrajad mengungkapkan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (5) UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan rencana kerja anggaran kementerian lembaga di setiap kementerian dan lembaga, harus tertulis dalam APBN yang disetujui oleh DPR. Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dari kekayaan kementerian maupun lembaga, demikian pula anggaran dan laporan keuangannya. “Sumber keuangan PIP sebagai BLU adalah dari APBN, dan keuntungan PIP masuk kategori pendapatan negara bukan pajak dan merupakan bagian dari penerimaan APBN. Karena uang publik atau negara ditanamkan dalam perusahan swasta yang belum ‘go public’ (NTT masih perusahaan tertutup), maka hukumnya wajib memerlukan persetujuan DPR,” urai Mudrajad.
Mudrajad juga mengemukakan penguasaan sumber daya ekonomi di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh pemodal/perusahaan asing di Indonesia. Sekitar 69-78% sumber daya energi, perkebunan dan migas Indonesia, lanjut Mudrajad, dikuasai oleh pemodal dan maupun perusahaan asing. “Siapa ‘dalang’ dalam lakon dramaturgio penguasaan sumber daya ekonomi Indonesia? Jangan-jangan di tengah pertikaian antarlembaga negara yang terjadi di panggung sidang MK ini, justru sang dalang terbahak-bahak menertawai kebodohan kita, Amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 kurang dipedulikan para actor dramaturgi ekonomi ini. Semua itu membuat ekonomi Indonesia disandera kekuatan investor/komprador asing. Karena itu, perlu ditempuh divestasi penguasaan sumber daya ekonomi dengan member kepercayaan kekuatan modal domestic, baik pemerintah, Pemda, maupun swasta domestik,” ujarnya.
Sementara itu, O.C. Kaligis selaku Ahli Turut Termohon (BPK) mengungkapkan status Laporan Hasil Pemeriksaan BPK memiliki status yang sama dengan Putusan MK. Jika BPK diperiksa MK terkait dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), maka ini membuka peluang bagi berbagai pihak yang telah diperiksa BPK untuk melakukan hal yang sama. “Memang MK memiliki kompetensi untuk memeriksa BPK, dalam artian untuk melihat apakah BPK selaku lembaga negara telah melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU BPK. Namun untuk menjadikan suatu LHP sebagai suatu objek sengketa kewenangan jelas merupakan kurang tepat dan terhadap LHP tersebut, MK tidak berwenang untuk mengadilinya,” paparnya.
Terkait dengan perkara, Kaligis menjelaskan BPK memberikan pendapat terhadap proses pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 oleh PIP atas permintaan dari Komisi X DPR. “Mengingat bahwa permintaan pemeriksaan oleh BPK tersebut berasal dari DPR, dan menyangkut maslah divestasi saham, maka pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tersebut sesuai dengan wewenang BPK sebagaimana tercantum dalam UU BPK,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon beranggapan terdapat objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara karena kewenangan konstitusional Pemohon sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh Termohon I (DPR) dan Termohon II (BPK). Berdasarkan uraian Pemohon di atas, Pemohon berkeyakinan bahwa sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusinal berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Pemohon mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan investasi pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 tanpa perlu persetujuan Termohon I terlebih dahulu. (Lulu Anjarsari/mh)