“Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disusun oleh badan Konstituante yang terdiri dari berbagai aliran dan suku, termasuk para Ulama dari Nahdhatul Ulama, sehingga kelompok Islam radikal yang menolak konstitusi adalah kelompok yang ahistoris terhadap sejarah pembentukkan konstitusi,” demikian disampaikan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, di hadapan para santri, dalam acara pengajian konstitusi yang berlangsung di Pondok Pesantren (ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu 7 April 2012 kemarin.
Lebih lanjut dijelaskan Mahfud, konstitusi merupakan instrumen hidup bernegara yang menjadi rujukan semua permasalahan bangsa, dan di dalam sebuah konstitusi selalu berisi mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembagian kekuasaan negara. Ditambahkan Mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur ini bahwa dalam hidup bernegara sebagai mana diatur dalam konstitusi adalah sebuah keniscayaan, karena begitu seorang manusia lahir ke dunia dia sudah menjadi bagian dari suatu negara. Sehingga saat ini kita tidak bisa hidup tanpa negara, dan menurut hukum yang dianut oleh Indonesia, seseorang yang lahir dari orang tua berkewarganegaraan Indonesia, maka secara otomatis dia memiliki kewarganegaraan Indonesia, meski dia tidak lahir di Indonesia.
Terkait dengan putusan MK dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan yang dinilai kontroversial oleh sebagian kalangan, terutama dari kalangan ulama, menurut Mahfud, hal tersebut tidak hanya terjadi dalam putusan UU, namun juga terjadi pada putusan MK dalam beberapa pengujian undang-undang, dan putusan MK itu justru menjadi dasar bagi lembaga peradilan lain dalam memutus suatu perkara.
Dalam kesempatan yang sama, pengasuh ponpes Tebuireng Solahudin Wahid menyatakan, konstitusi memiliki cakupan yang luas, dan banyak hal-hal dalam konsitutius yang belum dikupas, dengan adanya kegiatan pengajian konstitusi, dirinya berharap warga ponpes dapat tergugah kesadarannya akan hak-hak konstitusionalnya.
Usai membuka pengajian konstitusi bagi santri dan santriwati Ponpes Tebuireng, Ketua MK Mahfud MD menghadiri acara halaqoh bersama 75 pengasuh ponpes se Jawa Timur, yang berlangsung di kediaman pengasuh Ponpes Tebuireng, Solahudin Wahid.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua MK menjelaskan putusan MK dalam pengujian UU Perkawinan, yang dinilai kalangan ulama kontroversial. Menurutnya, hukum perdata yang diputus oleh MK tidak sama dengan nasab atau garis keturunan seseorang, sebab hubungan perdata bukanlah hubungan nasab, namun demikian, hubungan nasab merupakan bagian dari hubungan perdata. Lebih lanjut ditegaskan, meski melalui putusan tersebut seorang anak memiliki hubungan perdata dengan orang tuanya, tidak serta merta anak terebut juga memiliki hubungan perdata dengan orang tua laki-lakinya atau ayah. Menurutnya, setiap perbuatan hukum yang merugikan, termasuk perzinahan, harus dipertanggung jawabkan, sehingga seorang pria yang melakukan perbuatan tersebut dan menghasilkan anak dari dari perbuatannya itu, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Diungkapkan oleh Mahfud, dirinya merasa sedih dengan kelompok-kelompok yang belum membaca dan memahami putusan MK dalam UU Perkawinan tersebut, tapi terus menyerang MK. Bahkan banyak pihak yang tidak mengerti hukum, namun sudah menyamakan antara hubungan nasab dengan hubungan perdata. Diterangkan Mahfud, MK dalam putusannya sudah sangat jelas menyatakan, hubungan tersebut merupakan hubungan perdata, dan MK tidak pernah menyatakan hubungan tersebut merupakan hubungan garis keturunan atau nasab.
Lebih jauh dikatakan Mahfud, serangan-serangan dari beberapa kelompok tidak hanya terjadi dalam perkara UU Perkawinan, tapi juga dalam beberapa pengujian yang lain, dan MK tetap pada pendiriannya, untuk berpegang dan mempertahankan konstitusi yang berlaku.
Terhadap beberapa pertanyaan yang muncul, dirinya mengaku merasa lebih cocok menjabat sebagai hakim konstitusi dibanding jabatan yang lain, karena dengan menjabat sebagai hakim konstitusi, dirinya merasa lebih bisa berperan dalam membendung serangan ideologi lain yang berusaha masuk lewat pengujian Undang-Undang ke MK. (Ilham/mh)