Ahli para Pemohon No.78/PUU-IX/2011, Ichlasul Amal, mengatakan bahwa sebenarnya sentralisasi dan pemusatan kepemilikan media khususnya media penyiaran mengingkari amanat UUD 1945 sekaligus juga bertentangan dengan UU No. 32 tahun 2002. Dikarenakan, kedua aturan tersebut, sudah secara tegas mewajibkan adanya otonomi daerah yang diperluas yang mengamanatkan agar dinamika penyiaran, baik meliputi kepemilikan dan isinya dapat juga tumbuh di daerah.
Hal demikian dikatakannya dalam persidangan uji materi Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002, khususnya Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4), di Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/4). Menurutnya, pada dasarnya UU tersebut juga mengamanatkan sebuah sistem penyiaran berjaringan yang mengakomodir dinamika di daerah. “Namun hal tersebut tidak berjalan secara baik,” ujarnya.
Lebih dari itu, kata Ihchlasul, UU penyiaran juga mengamanatkan agar televisi di daerah, khususnya televisi lokal tidak dikuasai oleh Jakarta. Tapi yang terjadi, televisi lokal/ daerah dikuasai oleh stasiun televisi nasional yang berada di Jakarta lewat penafsiran yang salah dan bertentangan dengan UUD 1945.
Lewat MK, sambungnya, mengharapkan agar UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran ditafsirkan secara benar, dan lebih dari itu UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Semua itu untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Ahli lain juga dihadirkan oleh para Pemohon, ia adalah Paulus Widiyanto. Dalam keterangannya, dia mendukung permohonan para Pemohon yang pada intinya bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran adalah konstitusional dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun sejauh frase “satu badan hukum” ditafsirkan sebagai “satu badan hukum baik badan hukum pemegang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yaitu Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), maupun badan hukum apapun dan ditingkat manapun yang dikuasai dan memiliki lembaga penyiaran swasta (LPS)”. “Kemudian kata ‘dibatasi’ diartikan dengan “dibatasi dengan satu izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dalam satu wilayah siaran,” jelasnya.
Sementara itu, Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, Paulus juga setuju konstitusionalitas dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun sejauah frasa “pihak lain” ditafsirkan dengan “perorangan atau badan hukum yang berbentuk LPS yang memiliki IPP juga badan hukum apapun dan disingkat manapun yang menguasai/memiliki LPS.”
Persidangan yang dipimpin oleh Moh. Mahfud MD merupakan sidang terakhir sebelum putusan. “Oleh karena itu, sebelum majelis konstitusi memulai diskusi, meminta kepada Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait untuk menyerahkan kesimpulan dari seluruh jalannya persidangan ini, menurut perspektif masing-masing pihak,” ujarnya.
Kesimpulan tersebut, lanjut Mahfud, bisa diserahkan pada hari Rabu, 18 April 2012, Jam 16.00 WIB, di Gedung MK, lantai 4. “Sesudah itu akan diberi tahu untuk pengucapan vonis (putusan),” terangnya.
Secara rinci, para Pemohon yang terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan, mengujikan Pasal Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 No. 32/2002 UU Penyiaran.
Pasal 18 ayat (1) berbunyi, “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Dan Pasal 34 ayat (4) berbunyi, “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak Lain.”
Namun ketentuan tersebut kata para Pemohon, multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. “Selain itu, pasal-pasal tersebut juga menghilangkan asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran yang secara prinsip bertentangan Pasal 28F UUD 1945,” terang Pemohon, pada sidang sebelumnya. (Shohibul Umam/mh)