Sidang pengujian UU No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 terkait pembatasan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium untuk kendaraan pribadi roda empat kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4). Sidang pleno kali ini beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung MK dibuka oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD. Namun, jalannya sidang kemudian dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Mewakili Pihak Pemerintah, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, K.A. Badaruddin membacakan pernyataan pendahuluan Pemerintah atas permohonan Pemohon. Pertama-tama, Badaruddin menyampaikan bahwa Pihak Pemerintah mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Pasalnya, Pemerintah tidak melihat kerugian apa pun yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal 7 ayat (4) dan ayat (6) serta Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU APBN 2012.
“Pemerintah juga tidak melihat adanya hak atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi. Para Pemohon tidak dapat menguraikan bentuk kerugian konstitusional yang dialaminya,” lanjut Badaruddin.
Beralih ke dalil Para Pemohon yang menyatakan pembatasan konsumsi BBM jenis premium untuk kendaraan roda empat pribadi di wilayah Jawa-Bali serta penghematan dan kebijakan harga jual BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak arif dan diskriminatif, ditampik semuanya oleh Pemerintah. Masih diwakili Badaruddin, Pemerintah menyatakan bahwa dengan dilaksanakannya kebijakan pembatasan konsumsi BBM dan program konversi BBM ke gas, diharapkan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikurangi dan pemberian subsidi jadi lebih tepat sasaran.
“Beban belanja subsidi BBM dalam APBN dapat dikurangi sehingga dapat digunakan untuk membiayai belanja yang lebih produktif dan lebih menyentuh kebutuham dasar masyarakat, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan pembangunan insfrastruktur lainnya,” ujar Badaruddin menyampaikan argumen Pemerintah.
Sedangkan Pihak DPR menambahkan bahwa yang menjadi objek permohonan Pemohon, Pasal 7 ayat (4 dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4A) butir 1 dan butir c UU APBN-P TA 2012, telah diubah dalam RUU APBN-P yang telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR dalam Rapat Paripurna DPR, Sabtu (31/3) untuk disahkan menjadi UU Perubahan APBN TA 2012. Dengan begitu, DPR menyampaikan bahwa objectum litis permohonan Pemohon menjadi tidak relevan dengan hak konstitusional yang didalilkan Pemohon.
Selain itu, pendapat Para Pemohon yang menyatakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jenis premium untuk kendaraan roda empat pribadi di wilayah Jawa-Bali terhitung tanggal 1 April 2012 juga dinyatakan DPR tidak melanggar hak-hak konstitusional Para Pemohon. DPR menyatakan bahwa penghematan atau pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak sama dengan kenaikan dan memaksa warga negara untuk membeli BBM jenis Pertamax. Pasalnya, norma UU tidak secara eksplisit mengharuskan warga negara untuk membeli Pertamax. “Secara substansi materi Pasal 7 ayat (4) beserta Penjelasannya, bukan merupakan norma pelarangan terhadap warga negara untuk membeli BBM bersubsidi jenis Premium,” tegas Azis Syamsudin, Anggota DPR yang membacakan keterangan DPR. (Yusti Nurul Agustin/mh)