Skalanews – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui pihaknya akan memproses permohonan uji materi Pasal 7 ayat 6a dalam UU APBN Perubahan 2012, setelah UU tersebut dicatatkan pada lembaran negara dan memiliki nomor.
"Untuk terdaftar pada lembaran negara dan memiliki nomor UU jika telah ditandatangani presiden atau telah melampaui waktu 30 hari, meskipun belum ditandatangani presiden," kata Mahfud MD di Jakarta, Selasa (3/4).
Mahfud menambahkan permohonan uji materi yang didaftarkan oleh Yusril Ihza Mahendra baru sekadar didaftarkan dan baru mendapat nomor pendaftaran, tapi belum mendapatkan nomor perkara. Karena tegas Mahfud, MK harus menunggu UU APBN Perubahan 2012 untuk mendapatkan nomor undang-undang setetelah terdaftar di dalam lembaran negara.
"Untuk itu, pemohon uji materi harus menunggu sampai UU APBN Perubahan 2012 mendapatkan nomor UU," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Mahfud MD juga menegaskan, MK adalah lembaga negara yang independen yang tidak terkoopkasi oleh kekuatan tertentu. Sehingga pihaknya akan memproses permohonan uji materi berdasarkan argumentasi hukum, apakah bertentangan atau tidak dengan aturan perundangan di atasnya atau konstitusi.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, dirinya sudah mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 ayat 6a UU APBN Perubahan ke MK di Jakarta, Senin (2/4) kemarin.
Diakui Yusril, dirinya mengajukan permohonan uji materi Pasal 7 ayat 6a UU APBN Perubahan 2012 ini, karena adanya inkonsistensi antara satu ayat dengan ayat lainnya, yakni pada Pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012.
Ia menilai, dimasukkannnya ayat 6a pada Pasal 7 UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan berdampak luas kepada masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi.
Karena dalam ayat 6a pada Pasal 7 tersebut memberikan kewenangan pemerintah dengan tanpa persetujuan DPR untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi, jika ada kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) selama enam bulan.
"Berapa akan dinaikkan, kenapa dinaikkan, kapan dinaikkan, kapan diturunkan itu tidak pasti. Akibatnya setiap pengguna BBM bersubsidi, (seperti) tukang ojek, sopir angkot, taksi, tukang gorengan, dan pemilik warung, termasuk ibu rumah tangga, sekarang berada di dalam ketidakpastian," katanya usai alasan mendaftarkan permohonan uji materi ke kantor MK.
Ketidakpastian hukum ini, tegas Yusril bertentangan dengan Pasal 28d ayat 1 UUD 1945, yang berisi hak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara.
Meskipun, lanjutnya penambahan ayat 6a pada Pasal 7 ini akan diimbangi dengan pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang baru akan dianggarkan, tapi harga barang di pasaran terlanjur naik.
"Hal ini berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat karena BLSM belum turun. Ini juga bertentangan dengan pasal 28h ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin," paparnya.
Karena itu, menurut dia, ketentuan ayat 6a berpotensi bisa dibatalkan MK karena menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat.
Yusril juga menilai, secara materiil, Pasal 7 ayat 6a bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, yang merujuk pada penafsiran MK tahun 2003 saat menguji Pasal 28 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
"Ada multitafsir jika dikaitkan dengan dua UU tersebut," ujarnya, menegaskan.
Yuzril menyatakan, minyak dan gas merupakan sumber kekayaan alam yang dikuasai negara dan harus dimanfaatkan sebesarnya untuk kemakmuran rakyat.