Syarat Pendidikan Kepala Daerah dalam UU Pemda Dianggap Diskriminatif
Jumat, 30 Maret 2012
| 16:27 WIB
Salah satu calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jayapura Tahun 2011 mengajukan pengujian terhadap Pasal 58 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (30/3). Mosez Kallem tercatat sebagai pemohon perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 26/PUU-X/2012.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili Habel Rumbiak selaku kuasa hukumnya, mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) terlanggar akibat berlakunya Pasal 58 huruf c UU Pemda. Pasal 58 huruf c UU Pemda menyatakan “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: (c.) berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat”. Menurut Pemohon, pada praktiknya terdapat ketidakadilan dan ketidakjelasan dalam ketentuan Pasal 58 huruf c UU tersebut mengenai persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ketidakadilan dan ketidakjelasan dalam Pasal 58 huruf c UU tersebut terletak pada frasa “… sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat…”, karena jika dilihat dari ketentuan Pasal 115 ayat (1) dan (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sangat tidak adil ketika seseorang yang berpendidikan non formal kemudian dinyatakan seolah-olah berpendidikan formal.
“(Frasa tersebut) menimbulkan ketidakadilan terhadap Pemohon, padahal pendaftaran lain diloloskan yang pendidikannya non formal. Berdasarkan keseluruhan di atas, kami mohon agar Majelis Hakim Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Hakim Konstitusi Harjono mempertanyakan ketidakjelasan. Memohon kepada Mahkamah untuk memberikan ketegasan mengenai apa yang dimaksud dengan ‘pendidikan menengah atas’ apa sederajat dengan Paket C? Pemohon dirugikan wujud kerugian konstitusional Pemohon akibat berlakunya Pasal 58 huruf c UU tersebut. Sementara Hakim Konstitusi Maria farida Indrati selaku Ketua Hakim Panel mengemukakan Pemohon belum menguraikan mengenai kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. “Jadi hanya dikatakan sebagai salah satu pasangan calon kepala daerah. Harus dijelaskan hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945,” sarannya. (Lulu Anjarsari/mh)