Hiruk pikuk rencana kenaikan harga BBM disikapi dengan berbagai cara oleh beberapa kalangan. Mulai dari melakukan demonstrasi turun ke jalan hingga menggelar diskusi kritis terkait rencana tersebut. Namun beberapa organisasi masyarakat menempuh cara berbeda. Mereka mengajukan uji konstitusionalitas Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) ke Mahkamah Konstitusi,
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam jumpa pers, Kamis (29/3), di ruang Konpers lt.4 Gedung MK. Meskipun menurut Din, uji terhadap UU Migas ini tidak hanya dikarenakan adanya rencana kenaikan harga BBM tersebut. Selain Din Syamsuddin, tampak juga Fahmi Idris, Qurtubi, Amidhan, dan Hasyim Muzadi. “Mewakili sejumlah elemen masyarakat madani,” ujar Din Syamsuddin.
Setidaknya, terdapat 12 organisasi masyarakat dan 30 pihak sebagai perorangan turut serta sebagai Pemohon dalam uji materil dan formil terhadap UU Migas kali ini. Antara lain: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lajnah Siyasah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, dll.
Pada intinya, ada dua agenda kedatangan mereka ke MK. Selain silaturahim, ujar Din, mereka datang dalam rangka meregistrasi dan menyerahkan berkas pengujian UU Migas serta meminta penjelasan dari MK terkait putusan MK terdahulu yang menyatakan bahwa aturan yang menyatakan harga minyak diserahkan kepada mekanisme pasar adalah inkonstitusional.
Pada kesempatan itu pula mereka diterima oleh beberapa hakim konstitusi, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Dalam pertemuan itu, Mahfud MD beserta para hakim konstitusi pun sempat berbincang-bincang dengan Din Syamsuddin dkk.
Menurut Din Syamsuddin, UU Migas yang berlaku saat ini telah bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, dengan adanya ketentuan tersebut, memposisikan negara setara dengan perusahaan asing. “Hal ini sungguh melecehkan kedaulatan bangsa,” ungkapnya. “Inilah jeritan hati rakyat.”
Din menegaskan, UU tersebut sangatlah merugikan negara dan menguntungkan pihak asing. Di samping itu, membuka pintu liberalisasi ekonomi di Indonesia, khususnya dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, uji konstitusionalitas atas UU ini sangatlah penting. “Kami datang mengadu. MK sebagai benteng terakhir untuk mencegah dampak ini,” tegasnya.
Seiya sekata dengan Din Syamsuddin, Fahmi Idris mengungkapkan bahwa UU Migas sudah seharusnya tidak diberlakukan lagi. “Sudah tidak layak lagi,” katanya. “Kita stop sampai di sini saja.”
Pengamat perminyakan Qurtubi juga sempat melontarkan beberapa fakta dan hasil survei yang menyimpulkan bahwa pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia adalah ‘salah urus’. “Pengelolaannya paling buruk,” ujarnya. Pendapat ini, lanjut dia, berdasarkan pada survei di tahun 2011 oleh salah satu lembaga yang sangat kredibel dalam menilai pengelolaan minyak dunia. Parahnya lagi, kata Qurtubi, cost recovery pengolahan minyak di Indonesia tidak ada yang mengawasi.
Sedangkan Hasyim Muzadi mengungkapkan, dirinya mendukung penuh uji UU Migas ini. Bahkan tak hanya itu, Muzadi mengiginkan, ada kajian dan pengujian lainnya terhadap beberapa produk perundang-undangan yang juga dirasakan merugikan rakyat serta negara, terutama terhadap undang-undang terkait ekonomi, politik, dan budaya.
Menanggapi pernyataan dan pertanyaan yang terlontar dalam pertemuan itu, Mahfud menegaskan, MK sangat antusias jika ada permohonan uji konstitusionalitas undang-undang yang berkaitan dengan masalah negara. Karena, kata dia, MK berada pada posisi pasif dalam pengujian undang-undang. Sehingga harus ada pihak yang mengajukan pengujian terlebih dahulu ke MK. “Tapi jika sudah masuk ke MK, maka kami akan aktif dalam menguji,” tuturnya.
Selain itu, kata Mahfud, MK tidak bisa memenuhi permintaan untuk menjelaskan persoalan hukum UU Migas atau putusan MK sebelumnya dan kaitannya dengan kenaikan BBM yang saat ini dipersoalkan. Sebab, kata dia, MK hanya bisa memberikan pendapat hukumnya melalui proses persidangan yang pada akhirnya akan dituangkan dalam putusan. “MK tidak memberikan fatwa,” imbuhnya.
Berdasarkan pada pengalaman selama ini, lanjut Mahfud, MK kadangkala berada dalam posisi dilematis saat akan menjatuhkan putusan. Sebab, banyak faktor yang mesti dipertimbangkan, salah satunya dari segi kemanfaatan dan kemslahatan yang akan ditimbulkan. Salah satu contohnya adalah ketika dalam posisi terlanjur ada kontrak yang sudah disepakati antara Indonesia dengan pihak asing. Akibatnya, nanti negara yang harus bertanggungjawab. “Itu problem hukum juga,” jelasnya. Meskipun, bisa saja kontrak tersebut dilakukan dengan cara-cara kolutif dan koruptif.
Oleh sebab itu, Mahfud mengharapkan, ada peran dan tanggung jawab bersama seluruh pihak, khususnya dari pemerintah, legislatif, maupun penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan ini. (Dodi/mh)