Seorang mahasiswa Universitas Andalas yang juga menjadi “perwakilan” anak Punk di Padang, Sumatera Barat, Debbi Agustio Pratama, mengajukan pengujian Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (29/3). Tanpa didampingi seorang pun kuasa hukum, Debbi meminta MK untuk menyatakan Pasal 505 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut segala akibat hukumnya terkait dengan kriminalisasi terhadap gelandangan.
Pasal 505 KUHP yang dipermasalahkan Debbi berbunyi, “(1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan; (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.”
Pasal 505 KUHP itu menurut Debbi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Debbi kemudian menjelaskan kaitan antara pasal yang dimohonkan untuk diuji olehnya dengan batu uji yang dipakai. Ia mengatakan, pengertian gelandangan menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya. Debbi juga menyatakan bahwa sesuai kamus bahasa Indonesia itu dapat diartikan seorang gelandangan tidak melakukan perbuatan kriminal. “Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai kriminal jika tidak ada kehendak jahat didalamnya dan pada hakikatnya menjadi gelandangan tidak dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi, menjadi seorang gelandangan tidak dapat diancam dengan pidana kurungan sebagaimana diatur dalam Pasal 505 KUHP itu,” jelas Debbi di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Maria Farida Indrati dan didampingi dua anggota panel hakim, Harjono dan Muhammad Alim.
Debbi juga menambahkan bahwa ketentuan pidana dalam Pasal 505 KUHP bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dianut Indonesia. Pasalnya, Pasal 505 KUHP itu tidak melindungi rakyat dan melanggar hak asasi manusia. “Dengan adanya Pasal 505 KUHP itu secara otomatis negara Indonesia dapat dikatakan bukan sebagai negara hukum karena tidak melindungi rakyatnya. Setiap orang berhak unuk mendapat perlindungan diri. Pada hakikatnya, gelandangan bukan kriminal karena tidak ada niat jahat dan kerugian yang disebabkan dari kegiatan menggelandang itu. Pasal 505 akan menjerat orang yang tidak bersalah. Negara belum mewujudkan untuk memelihara anak-anak terlantar dan gelandangan, namun sudah mau menghukum,” tegas Debbi.
Debbi sendiri saat ditanya para hakim tentang latar belakang ia mengajukan permohonan pengujian Pasal 505 KUHP ini menceritakan bahwa ia sebagai mahasiswa kerap berkumpul bersama dengan anak punk setiap malamnya. Dari pergaulannya dengan komunitas punk itu Debbi mengetahui bahwa anak punk yang hidup menggelandang tidak memiliki niat melakukan tindakan kriminal dan anak punk bukan orang “jahat” seperti kebanyakan pandangan orang.
Sebagai mahasiswa yang membiayai kuliahnya sendiri, Debbi juga mengaku jujur bahwa ia merasa takut dengan masa depannya yang belum pasti. “Kemungkinan kita hidup menggelandang di masa depan kan mungkin saja. Dan hidup menggelandang itu bukan suatu perbuatan kriminal,” tandas Debbi yang juga meminta pada persidangan selanjutnya bisa digelar sidang dengan video conference (Vicon) agar teman-teman “punk” bisa memberikan kesaksian tanpa harus ke Jakarta. (Yusti Nurul Agustin/mh)