Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) dimohonkan untuk diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (29/3). PT Hutahaean yang diwakili oleh Harangan Wilmar Hutahaean tercatat menjadi Pemohon perkara dengan Nomor 30/PUU-X/2012 tersebut.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Andris Basril, mengungkapkan Pemohon adalah wajib pajak yang terperiksa oleh fiscus dan telah menerima Surat Ketetapan pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan pada Tahun 2008, yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) huruf d UU Perpajakan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 terlanggar dengan berlakunya pasal-pasal tersebut. Pemohon adalah wajib pajak yang terperiksa oleh fiscus dan telah menerima Surat Ketetapan Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan.
“Pemohon selaku wajib pajak menanggapi temuan fiskus dan menyanggah temuan tersebut dan jika Pemohon menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan Pemohon merasa terhalangi dengan adanya ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) huruf d undang-undang a quo,” ujar Andris di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Selain itu, Pemohon merasa sangat dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) huruf d undang-undang a quo karena telah membatasi seorang wajib pajak yang mempunyai sengketa pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda membayar sebelum mengajukan gugatan keberatan dikenai sanksi administrasi. “Sanksi administrasi tersebut berupa denda sebanyak 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebanyak 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, Pemohon menilai hal ini terlalu berlebihan dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon,” paparnya.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta gara Majelis Hakim Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 25 Ayat (9) Sepanjang Frasa, ‘Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah Pajak berdasarkan Keputusan Keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”, bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2), Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” urainya.
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Anwar usman mengungkapkan agar Pemohon membedakan antara istilah frasa, pasal, dan ayat. Dalam petitumnya, lanjut usman, Pemohon meminta sepanjang frasa, tapi dalam permohonan mengenai ayat. Anwar juga meminta agar Pemohon memperbaiki bagian kewenangan dan kedudukan hukum. “Ada perbedaan antara pasal-pasal yang dijadikan batu uji. Saudara harus konsisten. Tidak konsistennya Pemohon juga terlihat pada pada bagian kedudukan hukum. Saudara mendudukkan diri sebagai badan hukum privat, makanya saya tadi tegaskan mengenai kedudukan hukum. Tapi dalam posita sebagai perseorangan warga negara, diteliti kembali supaya konsisten,” sarannya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Pemohon memperbaiki format permohonan dan menjelaskan alasan-alasan terlanggarnya hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945. “Kemudian dalam permohonan, Saudara, ada hal-hal yang merupakan kasus konkrit. Klien anda mengalami dalam pasal a quo. Jadi, MK mengadili pengujian norma dalam UU, tidak mengadili kasus-kasus konkrit. Akan tetapi, Kasus konkrit itu bisa menjadi alasan dalam posita dan duduk perkaranya, Mk mengadili pasal ayat, frasa, norma dalam UU tetapi tidak mengadili kasus konkrit,” terang Maria.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Sidang berikutnya merupakan sidang perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)