Pembelian Saham PT Newmont bukan kewenangan Pemerintah sebagai bendahara umum negara karena menteri keuangan sebagai bendahara umum negara sangat terbatas, yaitu sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua BPK Hasan Bisri dalam sidang sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) antara Presiden RI dengan DPR dan BPK pada Selasa (27/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Presiden RI terdaftar menjadi Pemohon dalam perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/SKLN-X/2012.
“Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, Pasal 41, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Ternyata PP ini, mengatur bahwa semua proses investasi, termasuk penyertaan modal, itu sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan sebagai BUN (Bendahara Umum Negara), tidak melibatkan Pemerintah, tidak mengharuskan adanya keputusan Pemerintah dalam bentuk PP untuk setiap keputusan penyertaan modal Pemerintah,” jelas Hasan Bisri di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
BPK, lanjut Hasan, berpendapat bahwa status pembelian Saham PT Newmont oleh PIP ini adalah penyertaan modal Pemerintah. Sementara, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa status pembelian saham PT Newmont adalah investasi jangka panjang non-permanen. Istilah investasi jangka panjang non-permanen, jelas Hasan, sebetulnya ada di standar akuntansi, lebih kepada cara perlakuan akuntansi.
“Bukan status hukum dari investasi itu. Jadi, BPK berpendapat ini adalah penyertaan modal Pemerintah. Sementara BPK memperoleh data bahwa PT Newmont sampai dengan transaksi jual-beli itu dilakukan, itu masih perusahaan tertutup. Belum perusahaan terbuka dan perusahaan swasta. Oleh karena itu, BPK berpendapat bahwa pembelian Saham PT Newmont adalah penyertaan modal Pemerintah, bersifat jangka panjang, dan pada perusahaan swasta yang tertutup. Kemudian BPK menilai atau melakukan penelitian, kajian, apakah anggaran untuk melakukan pembelian saham ini sudah tersedia di dalam APBN? Pembelian saham ini akan dilakukan dengan dana PIP, dimana dana PIP memperoleh dananya dari APBN dan juga dari dana yang sudah dikelola selama ini. Kami lihat dari alokasi dana APBN untuk PIP, tidak ada satu pun di sana alokasi anggaran yang secara jelas dikatakan untuk pembelian Saham PT Newmont,” papar Hasan.
Sementara itu, Ahli Pemohon, yakni Yusril Ihza Mahendra, berpendapat sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya perbedaan-perbedaan yang bukan lagi pada tingkat pemahaman atau pemaknaan terhadap suatu norma yang mungkin disebabkan oleh sifat multitafsir yang harus dimohonkan tafsir pada Mahkamah. “Namun sudah terjadi pada tingkat praktik yang memerlukan suatu keputusan permeriksaan pada tingkat sengketa kewenangan,” ucapnya.
Yusril berpendapat dalam membeli dan melaksanakan pembelian 7% saham divestasi PT NNT merupakan kewenangan Presiden dalam menjalankan kebijakan Pemerintah. “Apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan itu. Tapi persoalan dari manakah dana yang akan digunakan untuk membeli saham devistasi tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan oleh PIP untuk dan atas nama Pemerintah? PIP bukanlah BUMN yang kekayaannya telah dipisahkan dari kekayaan negara karena didirikan dengan penyertaan modal Pemerintah yang pembentukannya dilakukan dengan peraturan pemerintah. PIP adalah unit organisasi di bidang pengelolaan investasi Pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Dengan demikian, seluruh dana PIP adalah dana Pemerintah yang bersumber dan berasal dari APBN, sementara keuntungan PIP juga seluruhnya adalah keuntungan Pemerintah. Jadi, jika Menteri Keuangan selaku bendahara negara, menyetujui rencana PIP untuk membeli saham mana pun juga, termasuk saham devistasi PT NNT dengan menggunakan alokasi dana investasi yang telah tertuang di dalam APBN, hal itu dibenarkan dan/atau dibolehkan berdasarkan norma Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan tidak lagi memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon beranggapan terdapat objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara karena kewenangan konstitusional Pemohon sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan negara telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh Termohon I (DPR) dan Termohon II (BPK). Berdasarkan uraian Pemohon di atas, Pemohon berkeyakinan bahwa sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusinal berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Pemohon mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan investasi pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 tanpa perlu persetujuan Termohon I terlebih dahulu. (Lulu Anjarsari/mh)