Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara nomor 27/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU (PUU) No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perpu No. 16 tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP menjadi Undang-Undang, Rabu (28/3). Bertindak selaku Pemohon dalam sidang ini, yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana yang didampingi kuasa hukumnya, yaitu Wahyudi Jafar dkk.
Sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan ini diketuai oleh Ketua Panel Hakim, Maria Farida Indrati yang didampingi Anggota Panel Hakim Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi. Selayaknya sidang pemeriksaan pendahuluan, Pihak Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya menyampaikan pokok permohonan ke hadapan panel hakim di ruang sidang pleno MK.
Memulai paparan mengenai pokok permohonan pemohon, Wahyudi Jafar menyampaikan bahwa pihaknya pada pokoknya mempermasalahkan ketentuan hukuman denda bagi pelaku tindak pidana ringan yang tidak mengikuti perkembangan zaman.
Pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perpu No. 16 tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP menjadi Undang-Undang terdapat frasa "vijf en twintig gulden" dan frasa itu kemudian diubah dalam Pasal 364, 373 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi "dua ratus lima puluh rupiah".
Frasa tersebut terkait dengan perbuatan pencurian, penggelapan ringan, penipuan ringan, dan penerima konosemen. Kesemuanya tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda sebanyak dua puluh lima rupiah. Ketentuan denda itu pada tahun 1960 dengan adanya Pasal 1 Perpu tersebut diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah. Menurut Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tidak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada tanggal 27 Februari 2012, dalam Pasal 1 Perma Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa frasa ‘dua ratus lima puluh’ dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibaca menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah.
Menurut Pemohon, denda dua juta lima ratus ribu rupiah tersebut tidak layak untuk menggantikan denda sebanyak dua ratus lima puluh rupiah yang diatur sebelumnya. “Menurut fakta sosiologis keberadaan Pasal 1 Perpu No. 16 Tahun 1960 sudah tidak lagi memberikan perlindungan dan menjadi persoalan yang serius untuk tindak pidana ringan. Jumlah tahanan bertambah banyak karena perkara-perkata tindak pidana ringan yang seharusnya dapat diadili dengan ketentuan acara cepat menjadi diadili dan diproses dengan menggunakan ketentuan acara pidana yang biasa,” tegas Wahyudi.
Terkait dengan dalil-dalil Pemohon tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “dua ratus lima puluh rupiah” sepanjang tidak dimaknai sebagai “dua juta lima ratus ribu rupiah”.
Saran Hakim
Seperti persidangan perdana lainnya di MK, hakim panel yang bersidang memiliki kewajiban menyampaikan saran kepada Pemohon. Saran yang disampaikan dapat digunakan oleh Pemohon untuk perbaikan permohonan Pemohon atau bisa juga dihiraukan oleh Pemohon.
Hakim Maria memulai penyampaian sarannya dengan menanyakan hak konstitusional Pemohon apa yang terlanggar dengan berlakunya pasal yang dimohonkan diuji oleh Pemohon. “Di sini Anda tidak menjelaskan secara detil tentang pasal ini terkait apa yang merugikan Anda. Tolong itu dijelaskan lagi karena nanti kaitannya dengan legal standing Pemohon agar menjadi tepat,” ujar Maria.
Selanjutnya Maria menyampaikan bahwa permintaan Pemohon yang meminta MK mengganti bunyi frasa “dua juta lima ratus ribu rupiah” adalah bukan kewenangan MK. “Itu legislatif review, aturan Anda mengajukan ini ke DPR. Kecuali Anda bisa menjelaskan apa yang menjadi pokok permohonan Anda sehingga Anda dirugikan,” kembali Maria menyarankan.
Kedua anggota panel hakim yaitu Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi juga menyampaikan sarannya dalam persidangan kali ini. Saran ketiga hakim tersebut memang bagian dari kewajiban panel hakim dalam sidang perdana ini. “Hakim wajib memberikan nasihat terhadap permohonan Anda. Kalau Anda mau mengajukan ini sebagai Pengajuan UU, silakan perbaiki permohonan. Tapi kalau Anda berpikir ini kerjaan legislatif, Anda tarik kembali juga tidak apa-apa. Ada waktu 14 hari untuk memperbaiki,” tutup Maria. (Yusti Nurul Agustin/mh)