Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang UU Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) kembali diajukan untuk di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (28/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 28/PUU-X/2012 dimohonkan oleh Agus Yahya.
Diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Said Utomo, mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon terlanggar dengan berlakunya Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA dan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan. Pemohon merasa mendapat perlakuan diskriminatif dengan berlakunya pasal a quo. Pemohon merasa dirugikan dengan keluarnya Putusan PTUN Surabaya yang dimohonkan Pemohon terhadap Bupati Pasuruan. “Perkara tersebut merupakan perkara antara atasan dan bawahan di mana Pemohon menggugat pemberhentian Pemohon sebagai Kepala Desa Tanggul Angin, namun Bupati diwakili oleh pengacara negara,” urai Said dihadapan Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim konstitusi Muhammad Alim.
Said menjelaskan Majelis Hakim PTUN telah menghilangkan kesaksian dua ahli sehingga Pemohon kalah. Pemohon merasa diperlakukan tidak adil dengan berlakunya Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA. “Bupati menggunakan pengacara negara, karena Pemohon diduga teroris, padahal Pemohon mengajukan (permohonan) antara atasan dan bawahan mengenai kasus pemecatan (Pemohon) sebagai Kepala Desa Tanggul Angin. Pemohon kalah karena harus berhadapan dengan pengacara negara dan tidak seimbang dengan pemohon. Bupati Pasuruan menggunakan pengacara negara, Widyantoro yakni Kepala Kejaksaan Kabupaten Bangil. Untuk itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA dan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” urainya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Alim mengungkapkan terlalu banyak pasal dalam UU MA maupun UU Kejaksaan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. “Banyak sekali pasal yang diujikan dari mungkin bisa dipersingkat dengan yang paling relevan dengan permohonan. Jangan berulang-ulang. Pada petitum, mengabulkan permohonan menyatakan Pasal 45A ayat (2) huruf c dan Pasal 30 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta memohon supaya putusan itu dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya. Karena nantinya, putusan MK ini akan berlaku juga untuk seluruh rakyat Indonesia,” saran Alim.
Sementara, Hakim Konstitusi Anwar Usman meminta agar Pemohon mempelajari Putusan MK Nomor 23/PUU-V/2008 tanggal 14 Januari 2008 yang juga memutus Pasal 45 ayat (2) huruf c. “Kasus pemohon merupakan kasusu konkrit, jadi coba dielaborasi lebih lanjut dimana kerugian konstitusional Pemohon, jika pasal ini tidak dihilangkan,” jelasnya.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menyarankan mengenai dalil Pemohon bahwa dalam sidang di PTUN, Majelis Hakim tidak mendengarkan keterangan saksi Pemohon, maka Pemohon harus melaporkan itu kepada Komisi Yudisial. “Perilaku hakim yang tidak bener bukan di sini (dilaporkannya), tapi ke Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi hakim. Jadi, saudara lapornya ke sana. Misalnya ada dua kesaksian ahli yang tidak dipertimbangkan, lapornya jangan ke sini, tetapi ke sana,” katanya.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu selambatnya 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. “Andaikata tidak diperbaiki, maka dianggap inilah yang menjadi permohonan dan tidak ada perubahan,” tandas Alim. (Lulu Anjarsari/mh)