Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengatakan banyak orang yang beranggapan hukum seperti keadilan, tetapi kadangkala hukum tersebut tidak adil terhadap masyarakat. Oleh karena itu, hukum bisa menyamaratakan suatu persoalan karena dia bersifat abstrak, tetapi berbeda dengan keadilan yang tidak boleh menyamaratakan suatu persoalan.
Pernyataan tersebut terungkap setelah beliau menerima langsung rombongan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bandar Lampung, di Ruang Korpers, gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (26/3). Rombongan yang berjumlah sekitar 72 orang tersebut datang ke MK adalah untuk mempersiapkan proses akhir dari perkuliahan yang mereka lakukan di bangku kuliah.
“Oleh karena itu, tujuan kami datang kesini untuk mendapatkan informasi dan data-data terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi, serta bagaimana masalah-masalah yang ada di disini,” ucai H.M Siregar selaku dosen pembimbing, saat menguraikan keinginan dan maksud tujuan datang ke MK.
Di samping itu, Alim juga menjelaskan terkait dengan perubahan UUD 1945 sampai menyangkut proses berdirinya MK. Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa banyak sekali perubahan pasal-pasal yang ada di UUD 1945, terutama tentang HAM dalam Bab XA yang dilakukan setelah reformasi. Hal demikian bisa terbukti dari istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara yang ada sebelum perubahan UUD 1945. Namun saat ini lembaga tersebut, lanjut Alim, hanya sebagai lembaga negara yang meliputi, Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK.
Selanjutnya, Alim juga menjelaskan terkait dengan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Ia mengakui bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, kemudian dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. “Tetapi hal tersebut hanya berlaku sebelum perubahan. Karena saat ini, kedaulatan tetap ditangan rakyat tetapi dilaksanakan menurut UUD 1945,” ujarnya.
Memasuki sesi tanya-jawab, ada puluhan mahasiswa yang mengacungkan tangan untuk bertanya ihwal proses kewenangan dan kewajiban MK yang dilakukan selama ini. Ada penanya yang menanyakan bagaimana mekanisme pemberitahuan sidang terhadap pihak-pihak yang berperkara di MK. Menanggapi hal tersebut, Alim menuturkan bahwa semua alamat-alamat yang berperkara di persidangan sudah ada, sehingga MK hanya akan mengirim secara tertulis melalui PT. Pos Indonesia kepada alamat tersebut.
Kemudian penanya lain menanyakan berkenaan dengan latar belakang terbentuknya MK. Menurut Alim dalam keterangannya, mengatakan bahwa sebelum perubahan UUD 1945, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan dibawa Undang-Undang terhadap Undang-Undang, bukan terhadap UUD 1945. Karena dahulu pada zaman kolonial Belanda bahwa sebuah UU tidak boleh diganggu gugat.
Oleh karena itu, sambung Alim, para tokoh bangsa Indonesia setelah reformasi beranggapan bahwa UU yang dibuat oleh pemerintah tersebut tidak cocok dan adil terhadap masyarakat. “Sehingga oleh para pembentuk undang-undang dasar perlu untuk membentuk suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,” tutur mantan hakim di Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan itu.
Dengan demikian, kata Alim, para pembentuk UUD 1945 saat itu berfikiran perlu untuk membuat MK supaya UU yang dahulu tidak bisa diganggu gugat, sekarang bisa diuji sesuai dengan konstitusi. “Jadi paradigma kita yang dari Belanda yang Undang-Undang-nya tidak boleh diganggu gugat, lalu bisa berubah menjadi Undang-Undang yang bisa diuji di Mahkamah Konstitusi,” terang hakim konstitusi yang diusulkan Mahkamah Agung itu (Shohibul Umam/mh)