Permohonan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Bupati Lampung Timur (non-aktif), Hi. Satono, diputus tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang dengan agenda pengucapan putusan Nomor 85/PUU-IX/2011 yang digelar di MK pada Selasa (27/3/2012) sore.
Satono menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 244, Pasal 259 KUHAP dan Pasal 30, 31, 33 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008. Pasal 259 KUHAP menyatakan: “(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung; (2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan”.
Kemudian Pasal 33 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang menyatakan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya”.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan, permohonan kasasi demi kepentingan hukum, oleh pembentuk Undang-Undang ditempatkan pada Bab XVIII tentang Upaya Hukum Luar Biasa, Bagian Kesatu tentang Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Dengan demikian, permohonan kasasi demi kepentingan hukum, bukan upaya hukum biasa. Karena yang dapat dimohonkan kasasi hanyalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berarti sudah dieksekusi maka tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 259 ayat (2) KUHAP.
“Suatu putusan oleh pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding dari peradilan umum atau tingkat pertama atau tingkat banding dari peradilan militer yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itulah yang dapat dimohonkan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan hukum.
Makna kasasi demi kepentingan hukum, lanjut Maria, adalah adanya kemungkinan atas suatu putusan di tingkat pertama atau tingkat banding yang tidak dilakukan upaya hukum oleh jaksa penuntut umum maupun oleh terdakwa, sehingga putusannya memperoleh kekuatan hukum tetap, padahal putusan tersebut mengandung kekeliruan atau kesalahan hukum yang tidak dapat diperbaiki. Untuk membetulkan putusan yang demikian hanya dapat ditempuh melalui permohonan kasasi demi kepentingan hukum. Berbeda dengan keputusan administrasi negara yang di dalamnya terdapat klausula, “Apabila kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya”, sehingga memungkinkan pejabat administrasi negara yang bersangkutan memperbaiki keputusannya.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 259 KUHAP tidak merugikan hak konstitusional Satono sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Justru dengan adanya ketentuan Pasal 259 KUHAP memungkinkan adanya koreksi atas kekeliruan atau kesalahan menerapkan hukum. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP putusan kasasi demi kepentingan hukum disyaratkan tidak boleh merugikan yang berkepentingan.
Mengenai persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, menurut Mahkamah, tidak ada seorang pun yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 259 KUHAP karena ditujukan kepada “semua” putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang telah diputus oleh pengadilan selain Mahkamah Agung. Kepastian hukum yang adil dan perlakuan diskrimatif, sudah ditegaskan dalam Pasal 259 KUHAP, bahwa terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diputus oleh pengadilan selain Mahkamah Agung dapat dimohonkan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung, dan itu pun hanya sekali serta berlaku untuk semua orang tanpa pembedaan apapun. “Dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada unsur ketidakpastian hukum maupun unsur diskriminatif dalam pasal a quo,” lanjut Maria.
Kemudian, mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 33 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008, yang menurut Pemohon frasa “... berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ...” yang menurut Satono bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak ditambah dengan frasa “termasuk putusan bebas”. Menurut Mahkamah, suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan. Adapun persoalan yang mana yang dimaksud putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan harus dilaksanakan atau dieksekusi, apakah putusan yang sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh, atau termasuk putusan bebas, atau suatu putusan yang meskipun masih ada upaya hukum, akan tetapi upaya hukum luar biasa, sudah dapat dieksekusi, ataukah sekalian menunggu putusan peninjauan kembali baru dieksekusi, hal itu adalah masalah penerapan hukum, bukan masalah konstitusionalitas norma. Meskipun Pasal 268 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”, namun dalam penerapannya, ada yang mengeksekusi putusan sebelum adanya putusan peninjauan kembali dan ada yang mengeksekusi putusan setelah adanya putusan peninjauan kembali. Begitu pula ketentuan Pasal 244 KUHAP yang juga dimohonkan oleh Pemohon untuk dinyatakan sesuai dengan UUD 1945, tetapi dalam penerapannya terhadap putusan bebas juga ada yang dimohonkan pemeriksaan kasasi. Dengan demikian, permohonan Pemohon yang memohon penambahan frasa, “termasuk putusan bebas” dalam Pasal 33 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah penerapan hukum.
Oleh karena permohonan Satono berkaitan dengan Pasal 244 KUHAP dan Pasal 33 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008, Mahkamah menetapkan tidak berwenang mengadilinya. Kemudian, pengujian Pasal 259 KUHAP, menurut Mahkamah, Satono tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing), sehingga Mahkamah tidak lagi mempertimbangkan pokok permohonan. (Nur Rosihin Ana/mh)