Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Pasal 55 dan Pasal 56 UU Akuntan Publik yang teregistrasi dengan nomor 84/PUU-IX/2011 kembali digelar, Rabu (21/3). Sidang Pleno yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD beragendakan mendengarkan keterangan para ahli dari Pemerintah.
Ahli dari Pemerintah atau Pihak Terkait, Agung Nugroho menjadi ahli pertama yang menyampaikan keterangannya di hadapan Pleno Hakim Konstitusi. Agung yang menjabat sebagai Ketua Dewan Sertifikasi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyampaikan bahwa akuntan publik mempunyai standar dalam melakukan pemberian jasa profesinya ketika mengaudit laporan keuangan historis.
“Standar ini dipergunakan baik di Indonesia maupun di semua negara lain karena standar ini merupakan standar yang secara umum dipergunakan oleh para auditor,” ujar Agung.
Selanjutnya Agung menjelaskan bahwa standar yang dipakai yaitu standar umum. Standar umum ini berhubungan denngan kualifikasi, independensi, dan kemahiran seorang akuntan publik dalam melaksanakan tugasnya. Standar berikutnya adalah standar pemeriksaan lapangan yang harus dipakai oleh seorang akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaan audit. Dan yang terakhir adalah standar pelaporan yang harus digunakan akuntan publik dalam menyusun laporan audit.
“Perencanaan suatu pekerjaan merupakan bagian yang sangat mutlak dalam pekerjaan audit. Perencanaan dimulai dari membentuk timnya, artinya seorang akuntan publik pasti dibantu oleh timnya yang terdiri dari para manajer audit, senior audit, dan stafnya. Kemudian bagaimana melaksanakan supervisi dan pengawasannya dan bagaimana melakukan perencanaannya, termasuk di antaranya bagaimana memahami siapa kliennya, bagaimana memahami industri kliennya. Semua itu dimasukkan dalam dokumentasi perencanaan dan dicatat seluruhnya di dalam kertas kerja, seluruh perencanaan direkam pada kertas kerja,” urai Agung mengenai teknis kerja seorang akuntan publik.
Agung juga menegaskan bahwa dalam laporannya, seorang auditor harus selalu mengatakan bahwa telah mengaudit berdasarkan standar auditing yang telah ditetapkan oleh IAPI. Kertas kerja dan standar auditing itu juga harus dapat dibaca dan dipahami oleh experience auditor.
Ahil lainnya dari Pihak Pemerintah, yaitu Jusuf Wibisono dalam kesimpulan dari keterangannya menyampaikan bahwa belajar dari kasus Satyam, kasus professional misconduct itu dibagi dalam dua pengadilan, yaitu pengadilan yang mengadili perilaku kriminal (criminal charges) dan pengadilan yang mengadili kriminal biasa yang tuduhannya adalah berkolusi dengan manajemen pelaku 0konspirasi. Sedangkan pengadilan kedua, yaitu pengadilan profesi yang mampu menilai audit yang dilakukan oleh Pricewaterhouse sudah dilakukan sesuai dengan standar auditing atau belum.
“Kedua Pengadilan ini tidak bisa dicampur karena untuk melihat apakah professional misconduct dilakukan oleh auditor itu harus pengadilan yang memang orang-orangnya paham dengan standar auditing, paham dengan standar akuntansi yang berlaku umum. Kalau dua-duanya digabung, mungkin saja nanti keputusan pengadilan menjadi kurang baik atau kurang valid,” tegas Wibisono.
Sebelumnya, Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 55 huruf a UU a quo yang memuat frasa “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak dikenal dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok dalam hukum pidana. Rumusan yang diatur dalam KUHP adalah pemalsuan surat. Selain itu, Pasal 55 huruf b UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena Pasal tersebut telah menciptakan rasa tidak aman atau ketakutan yang amat sangat sehingga Para Pemohon tidak merasa tidak bebas menjalankan profesinya untuk berbuat atau tidak berbuat. (Yusti Nurul Agustin/mh)