Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Intelijen Negara kembali digelar di ruang sidang pleno MK, Selasa (20/3). Sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan saksi Pemohon dan ahli Pemerintah/DPR. Hadir sebagai saksi Pemohon, yaitu Rahardjo Waluyo Jati, aktivis dan korban dari penghilangan paksa tahun 1998. Sedangkan dari pihak pemerintah salah satunya hadir seorang ahli hukum pidana internasional dari Universitas Diponegoro, Muladi.
Sidang dimulai dengan kesaksian Rahardjo. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami penyekapan yang dilakukan “Tim Mawar”. “Saya diambil 12 maret 1998, di depan RSCM, jam 2 siang. Saya berada di penyekapan yang sampai saat ini tidak kami ketahui di mana itu. Saya disekap selama 45 hari, dibebaskan pada 26 April 1998. Selama penyekapan saya dipaksa untuk mengakui hal yang tidak saya ketahui,” jelas Rahardjo.
Di dalam tempat penyekapan, Rahardjo mendapat informasi bahwa telah terdapat orang-orang yang disekap dan hilang tidak bisa ditemukan karena tidak jelas keberadaannya. Yang dialami Rahardjo dan korban penyekapan dan penghilangan paksa menurut Rahardjo tidak pernah diklaim dilakukan oleh salah satu lembaga negara pun. “Sampai akhir persidangan militer, para Tim Mawar itu mengklaim melakukan operasinya itu atas dasar interpretasi mereka atas perintah atasan, jadi atas kemauan mereka sendiri,” ungkap Rahardjo.
Pernyataan Rahardjo yang menimbulkan simpati tiba-tiba “mentah” ketika ahli dari Pemerintah yang mantan Hakim Konstitusi,Ahmad Syarifuddin Natabaya menyampaikan keterangannya. Natabaya, begitu ia biasa disapa, mengatakan bahwa pengujian UU seperti yang diatur dalam PMK (Peraturan MK) yang berhak mengajukan pengujian UU Ini adalah Pemohon atau pihak yang menganggap hak dan kewenangannya dirugikan terhadap UU.
Namun, dari kelima Pemohon yang mengajukan perkara ini dianggap Natabaya tidak mengalami kerugian akibat berlakunya UU Intelijen Negara. “Ada lima syarat secara kumulatif sesuai putusan MK untuk pengajuan Pengujian UU, yaitu kewenangan konstitusional pihak tersebut dianggap telah dirugikan oleh suatu UU. Artinya, Pemohon harus membuktikan Pemohon dirugikan oleh UU ini dan dalam permohonan ini tidak ada satu kata pun yang menunjukkan kerugian Pemohon. Kalau saksi yang tadi menyampaikan ada kerugian, itu kerugian masa lalu bukan karena UU ini, justru UU ini bermaksud melindungi,” papar Natabaya.
Sedangkan Muladi menyampaikan bahwa UU Intelijen belum bisa dievaluasi. Pasalnya, Muladi menilai UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara itu sudah cukup demokratis. Hal ini terlihat dari proses penyusunan maupun dalam perumusan substansinya. Tetapi Muladi mengatakan bahwa UU Intelijen belum dapat dievaluasi.
“Sampai seberapa jauh kualitas actual enforcement belum bisa dievaluasi karena baru saja diundangkan,” ujar Muladi.
Lebih lanjut, Muladi mengatakan bahwa fungsi Intelijen Indonesia masih sangat baik dibanding dengan negara-negara lain. “Ini karena negara-negara tersebut masih selalu terkandung empat fungsi intelijen, yaitu collection, analysis, counterinteligence and covert action yang lebih spesifik dan kompleks," ujarnya.
Seperti dikabarkan sebelumnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang beranggotakan IMPARSIAL, ELSAM, YLBHI, AJI, dan Perhimpunan Masyarakat Setara memohonkan uji materi terhadap UU Intelijen ke MK. Koalisi LSM ini menilai bahwa sejumlah pasal dalam UU tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal yang dimohonkan, yaitu Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. (Yusti Nurul Agustin/mh)