Enam orang delegasi Commission for the Implementation of the Constitution (CIC) Kenya mengunjungi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Selasa (20/3). Delegasi yang diketuai Elizabeth Muli selaku Wakil Ketua (Vice Chairperson) CIC yang ditemani Komotho Waiganjo (commissioner), Kibaya Laibuta (commissioner), Doreen Muthaura (researcher), Mary Goretti Orwa (researcher ), dan Isaac Mugambi (Personal Assistant).
Tujuan delegasi Kenya itu bertandang ke MK untuk mengetahui bagaimana konstitusi dan pengadilan konstitusi berjalan di Indonesia. Terlebih, Indonesia memiliki MK (constitutional court) yang delegasi nilai dapat memberikan contoh atau pelajaran yang bisa diambil dan diterapkan di Kenya yang juga memiliki lembaga seperti MKRI.
Sebagai negara berkembang, Indonesia dan Kenya memiliki beberapa kesamaan terkait reformasi hukum, yaitu adanya amandemen konstitusi. Di Kenya, menurut Elizabeth, juga telah melalui proses amandemen konstitusi. “Indonesia sudah punya amandemen konstitusi, sama halnya dengan Kenya. Di tahun 2013 nanti dijadwalkan juga adanya pemilihan umum. Jadi kami ke sini berkesempatan untuk bertanya apa yang bisa diimplementasikan dari MK di Indonesia untuk Kenya,” ujar Elizabeth menjelaskan latar belakang kunjungan mereka.
Hakim Konstitusi Harjono dan Muhammad Alim menerima kunjungan delegasi Kenya itu sekaligus berdiskusi tentang peradilan konstitusi yang ada di Indonesia dan Kenya. Harjono dan Alim juga didampingi Sekretaris Jendral MK Janedjri M. Gaffar yang ikut membantu menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan delegasi Kenya.
Memulai penjelasan, Harjono menyampaikan bahwa hakim konstitusi di MKRI terdiri dari sembilan orang. Namun, Harjono meminta maaf karena para hakim konstitusi yang lain tidak bisa menyambut kunjungan mereka karena sedang menjalani tugas lainnya.
Harjono melanjutkan, setelah amandemen ketiga dilakukan akhirnya MKRI berdiri pada 13 Agustus 2003. MK saat itu diberi kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Hingga tahun ke-8 MK berdiri, MK sudah memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang diamanatkan UUD 1945.
Keempat kewenangan tersebut yaitu, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran Parpol, dan memutuskan perselisihan hasil pemilu. Sedangkan satu kewajiban yang dimiliki MK, yaitu memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945.
“Jadi MK hanya memberikan keputusan apakah presiden dan wakil presiden memang terbukti melanggar hukum dan konstitusi atau tidak. Sedangkan yang memutuskan presiden atau wakil presiden harus turun dari jabatannya tetap DPR,” jelas Harjono menerangkan mengenai kewajiban MK menggunakan bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh redaksi.
Terkait jumlah hakim konstitusi dan komposisinya, Harjono mengungkapkan bahwa tiga orang hakim konstitusi diusulkan oleh presiden, tiga lainnya diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA), dan tiga terakhir diusulkan oleh DPR. Komposisi hakim konstitusi tersebut dijelaskan Harjono dimaksudkan untuk menjaga independensi MK dan menjauhkan MK dari intervensi pihak lain. “Mekanisme pemilihan hakim konstitusi ini yang menjamin MK bebas dari intervensi pihak mana pun,” tegas Harjono.
Selain berbicara mengenai sejarah, fungsi, dan kewenangan MK, para delegasi Kenya juga sempat menanyakan hal-hal terkait administrasi berperkara dan tatacara beracara di MK. Bahkan, para delegasi pun menanyakan persoalan administratif seperti sumber anggaran di MK dan sistim pemberian gaji untuk pegawai MK. Kesemua hal yang ditanyakan oleh delegasi Kenya dijawab dengan tuntas oleh Harjono dan Alim. Janedjri yang mendampingi keduanya pun kerap menambahkan jawaban yang terkait Kesekjenan dan Kepaniteraan MK.
Di akhir acara, delegasi Kenya mengucapkan banyak terima kasih karena Harjono, Alim, dan Janedjri sudah “meladeni” keingintahuan mereka. (Yusti Nurul Agustin/mh)