Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) bertentangan dengan niat negara kebangsaan yang membuat rakyat Indonesia bangga terhadap bangsa Indonesia dalam suasana ke-Indonesia-an. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU Sisdiknas yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (20/3).
“Sekolah bertaraf internasional bertentangan dengan niat negara kebangsaan, to make all Indonesian proud, membuat kebanggaan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi orang Indonesia dalam suasana ke-Indonesia-an. Sekolah Amerika jika Anda melihat benar-benar bersuasana Amerika, bahkan di Jerman sekalipun. Lho, kok di sini justru minta internasional?” urai Soedijarto di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono.
Soedijarto juga mengungkapkan seharusnya tidak perlu ada sekolah bertaraf internasional, namun yang perlu ada adalah sekolah nasional yang standarnya tidak kalah dengan internasional. Menurut Soedijarto, tidak ada negara yang sekolahnya mengaku standar internasional, Universitas Harvard tidak mengakui menggunakan sistem berstandar internasional. “Lalu, mengapa kita pakai label seperti itu? Labelnya itu yang mengganggu,” jelasnya.
Selain itu, Soedijarto memaparkan founding fathers (para pendiri negara) menginginkan seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak seperti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Akan tetapi, lanjut Soedijarto, pada kenyataannya, justru diadakan sekolah seperti itu hanya untuk anak tertentu. “Mengapa founding fathers menginginkan dalam pembukaan ‘…mencerdaskan kehidupan bangsa…’, bukan asal semua orang Indonesia sekolah yang isinya belajar membaca, menulis, kemudian UN. Dalam pandangan founding fathers, seluruh warga negara Indonesia harus mendapatkan hak sepeti yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, semua anak Indonesia harus menjadi mengikuti pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, tapi ternyata diadakan sekolah yang hanya orang tertentu,” paparnya.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya Winarno Soerahmat mengemukakan sesungguhnya istilah ‘pendidikan internasional’ adalah istilah yang netral. Winarno menjelaskan istilah tersebut merugikan tidak, menguntungkan juga tidak. Tetapi sekali istilah ini dikaitkan dengan satu konsep yang hidup atau satu sistem yang hidup, maka tidak akan menjadi netral lagi. “Karena ia akan menyatu, mempengaruhi atau dipengaruhi unsur-unsur di dalam sistem. Sangat disayangkan bahwa ada peristiwa atau kebijakan penting dalam sisdiknas yang memungkinkan orang memberikan tafsiran berbeda. Oleh karena interprestasi dikaitkan dengan satu sistem yang berbeda, maka timbul persoalan interpreatsi demikian RSBI adalah konsep yang tidak ada di dunia keculai Indonesia dan konsep ini tidak pernah tidak dikaitkan dengan sisdiknas. Dilihat dari segi nasionalisme, maka konsep ini tidak menguntungkan berdirinya satu system pendidikan yang nasional,” paparnya.
Permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 5/PUU-IX/2012 ini dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo, dan Febri Hendri Antoni Arif. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 50 ayat (30 menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Wahyu mengungkapkan bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa. Pemohon memiliki anak yang bersekolah di sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan merasakan banyaknya perbedaan yang didapat sehingga menimbulkan diskriminasi. (Lulu Anjarsari/mh)