Jakarta, MK Online - Undang-Undang (UU) Kehutanan, bagi masyarakat hukum adat, tidak memberi ketidakpastian hak terhadap wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun temurun, dan kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai sejarah penguasaan tanah dan sumber daya sendiri yang berimbas pada perbedaan basis klaim dengan pihak lain termasuk pemerintah.
Demikian salah satu dasar persoalan yang terungkap terhadap masyarakat adat, saat jumpa pers dengan wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, Senin (19/3), mewakili Masyarakat Adat Nusantara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), datang ke MK untuk menguji UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 1 angka (6), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) terhadap UUD 1945. Selaku para Pemohon, mereka terdiri atas Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, Bustamir, dan Moch. Okri.
Ketentuan UU Kehutanan No. 41/1999, khususnya Pasal 1 angka (6), menurut para Pemohon, Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Dan Pasal 4 ayat (3), Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada.”
Dan, Pasal terakhir adalah Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3), menurut para Pemohon, Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca ayat (1) “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak, dan hutan adat. Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
“Supaya UU tersebut, supaya kembali dalam jalur konstitusi yang sudah disepakati oleh pendiri bangsa kita,” tutur Abdon Nababan, didampingi sejumlah tokoh masyarakat adat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, kepada wartawan usai melakukan registrasi di persidangan MK.
Dalam pertemuan tersebut, Abdon juga mengatakan bahwa dia dan masyarakat adat mengajukan UU kehutanan, karena mereka belum berhasil lewat jalur politik memasukan revisi UU 41 ini lewat Dewan Perwakilan Rakyat. “Oleh karena itu, Mahkamah Kontitusi menjadi harapan aman untuk memastikan pulihnya hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Karena kami menganggap UU No. 41/1999 tentang Kehutanan ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945,” ungkap Sekjen AMAN tersebut.
Selain itu, dalam permohonan para Pemohon mengungkapkan bahwa pada dasarnya ada suatu regulasi yang sacara khusus mengatur tentang bagaimana Sumber Daya Alam (SDA) berupa hutan dilindungi dan dimanfaatkan adalah suatu yang penting dan keharusan, supaya SDA yang berupa hutan yang ada dan dimiliki oleh bangsa ini dapat dikelola dengan baik dan lestari dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil.
“Namun, ternyata dalam pelaksanaannya UU Kehutanan ini telah digunakan untuk menggusur dan mengusir kesatuan masyarakat hukum adat dari kawasan hutan adat mereka, yang merupakan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka,” jelas Pemohon dalam permohonan.
Atas dasar Pemikiran tersebut, lanjut Pemohon, permohonan ini secara tegas menyatakan menolak keberadaan dan keberlakuan UU tentang Kehutanan No. 41 tahun 1999, khususnya Pasal 1 angka (6), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3). Karena menurut mereka, Pasal a quo bertentangan dengan jaminan kepastian hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), UUD 1945. (Shohibul Umam/mh)