Sekitar 40 orang guru mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (16/3). Rombongan guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan se-Kabupaten Bantul Yogyakarta itu datang khusus ke MK untuk belajar lebih jauh dan mendalam tentang MK. Atas kunjungan ini diterima dan diberikan materi oleh Staf Ketua MK yang juga Peneliti MK, Fajar Laksono.
“Kita sebaiknya berdiskusi saja ya, sebab saya pasti tidak lebih tahu dibanding Bapak dan Ibu,” ujar Fajar merendah ketika memulai paparan materinya.
Fajar kemudian menjelaskan bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. Dikatakan “salah satu” karena ada satu lembaga lagi yang menjadi pelaku pelaksana kehakiman di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung (MA). Baik MK maupun MA memiliki posisi sejajar dalam hierarki ketatanegaraan di Indonesia.
Kesetaraan itu sejalan dengan berlakunya paradigma hierarki kekuasaan secara fungsional horizontal. Artinya, kalau dulu lembaga negara dibedakan menjadi lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara, dan lembaga negara, sekarang paradigma itu diubah menjadi fungsional horizontal. Pembedaan lembaga negara saat ini telah dibedakan menurut fungsinya.
Meski sama-sama pelaku di puncak kekuasaan kehakiman Indonesia, MA dan MK memiliki perbedaan mendasar. Fajar menjelaskan bahwa MK menangani perkara yang terkait dengan konstitusi atau dengan kata lain mengadili norma atau aturan. Sedangkan MA mengadili orang yang melakukan suatu perbuatan yang diduga melanggar hukum. “MA itu bisa memenjarakan orang karena MA menyelesaikan sengketa antar personal atau antar lembaga sedangkan MK tidak bisa memenjarakan orang karena yang diadili adalah norma,” jelas Fajar.
Fajar juga menjelaskan bahwa fungsi hierarki perundangan di Indonesia memunculkan kebutuhan akan judicial review. Pasalnya, suatu peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang posisinya lebih di atas. Dan MK hadir untuk memenuhi kebutuhan judicial review itu yang memang menjadi salah satu kewenangan MK. Meski begitu, MK tidak hanya memiliki satu kewenangan itu saja, melainkan ada empat kewenangan dan satu kewajiban.
Kewenangan MK tersebut, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran Parpol, memutuskan perselisihan hasil pemilu, dan satu kewajiban untuk memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945.
“Hanya kewenangan judicial review itulah yang ditemukan di setiap MK di dunia, termasuk MK Indonesia yang merupakan MK ke-78 di seluruh dunia. Sedangkan seperti memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara dan sengketa Pemilukada itu hanya variasi, tidak semua MK di dunia punya kewenangan itu,” terang Fajar.
Terakhir, Fajar menjelaskan mengenai komposisi hakim konstitusi Indonesia yang berjumlah sembilan orang. Kesembilan hakim konstitusi itu terdiri dari tiga cabang kekuasaan di Indonesia, yaitu tiga orang berasal dari DPR, tiga orang berasal dari MK, dan tiga orang lainnya dipilih presiden. “Formulasi itu dianggap sebagai formulasi ideal yang mewakili tiga cabang kekuasaan sehingga diyakini para hakim konstitusi itu bisa independen dalam bersikap,” tukas Fajar.
Beberapa orang guru sempat melontarkan pertanyaan kepada Fajar yang kemudian dijawab dengan jelas. Bahkan, salah satu guru sempat bertanya berkali-kali kepada Fajar, sehingga suasana diskusi pada kunjungan itu terbentuk. Tidak menyia-nyiakan waktu, rombongan guru berbaju batik itu sempat berkeliling Gedung MK untuk melihat-lihat ruang Perpustakaan MK dan ruang sidang MK. (Yusti Nurul Agustin/mh)