Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi - Perkara No. 16/PUU - X/2012 – pada Kamis (15/3) siang di Ruang Sidang Panel MK. Beberapa poin perbaikan yang diperbaiki adalah menyangkut koordinasi penyidikan tindak pidana korupsi apakah menjeadi kewenangan Jaksa Agung atau KPK sehingga hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon.
Dalam persidangan, Pemohon menjelaskan kepada Majelis Hakim Konstitusi soal perbaikan permohonan Pemohon pada pemeriksaan pendahuluan. “Bagian-bagian mana saja yang sudah Anda perbaiki? Tidak usah seluruhnya, cukup poin-poinnya saja.” tanya Ketua Pleno M. Alim saat membuka sidang.
Pemohon mengungkapkan, perbaikan pertama masalah pasal-pasal yang diuji, yang dulunya ada penjelasan, sekarang fokus pada pasal-pasal. Di antaranya, Pasal 31 ayat (1) huruf D UU No. 16/2004, Pasal 39 UU No. 31/1999, Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU No. 30/2002. “Perbaikan pertama itu mengikuti saran dari Hakim Maria Farida Indrati,” ujar Pemohon kepada Majelis hakim.
Perbaikan berikutnya, kata Pemohon, terkait dengan kerugian konstitusional sesuai saran Hakim Achmad Sodiki dan Hakim Ahmad Fadlil Sumadi dalam sidang sebelumnya. “Kami mengutip beberapa putusan MK, yakni Putusan No. 27/PUU/2009, Putusan No. 5/PUU/2011 dan Putusan No. 49/PUU/2011 yang pada intinya menyatakan Mahkamah menetapkan legal standing minimal seorang pembayar pajak dari berbagai asosiasi demi kepentingan publik, badan hukum pemerintah daerah maupun lembaga negara dan lain-lain,” terangnya.
Pemohon juga menerangkan alasan mengajukan Pasal 39 UU No. 31/1999. Menurut Pemohon, pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketentuan tersebut tumpang tindih dengan Pasal 42 UU No. 30/2002. Di satu sisi, Pasal 39 UU No. 31/1999 menyatakan Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Di sisi lain, justru Pasal 42 UU No. 30/2002 menyatakan KPK lah yang berwenang mengkoordinasikan. Jadi, sebagai taxt payer, Pemohon dirugikan dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 31/1999 karena pajak-pajak yang dibayarkan oleh Pemohon digunakan untuk menjadi kegiatan koordinasi penyidikan korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Agung. “Padahal berdasarkan UU No. 30/2002, kewenangan koordinasi penyidikan korupsi hanya berada di tangan KPK,” imbuh Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)