Pasal 67 dan Pasal 244 Undang-Undang No. 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Gubernur Benkulu Non-Aktif Agusrin M. Najamudin selaku Pemohon No. 56/PUU-IX/2011, dan memberi kuasa terhadap Yusril Ihza Mahendra, di Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” papar pimpinan sidang Moh. Mahfud MD, didampingi hakim konstitusi lainnya dalam sidang putusan yang digelar pada hari Kamis (15/3), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam Pasal 67 UU tersebut berbunyi “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas”. Sedangkan Pasal 244 selengkapnya berbunyi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Ketentuan pasal tersebut menurut Pemohon adalah sebagai norma yang sah dan konstitusional sejalan dengan norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sementara, tafsiran-tafsiran terhadap putusan bebas oleh pengadilan yang diatur dalam pasal tersebut, Pemohon mengatakan bahwa penuntut umum boleh dan/ atau dapat mengajukan banding maupun kasasi dengan alasan adanya pembagian putusan bebas ke dalam dua jenis, yakni putusan “bebas murni” dan “bebas tidak murni”, adalah tafsiran yang tidak konstitusional.
Hal demikian, lanjut Pemohon, sebagaimana termuat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 275K/Pid/1983 yang telah menyampingkan norma Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP yang kemudian dianggap sebagai yurisprudensi. Hal itu, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam Perkara ini, Mahkamah menjelaskan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang sudah diundangkan secara sah, dan oleh Pemohon didalilkan sesuai dengan UUD 1945, bukanlah merupakan objek pengujian undang-undang. “Semua undang-undang yang telah diundangkan secara sah oleh yang berwenang harus dianggap sesuai dengan UUD 1945 sampai dicabut oleh pembentuk UU atau dinyatakan tidak konstitusional oleh putusan Mahkamah berdasarkan permohonan yang diajukan dengan dalil ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945,” tulis Mahkamah.
Selanjutnya mengenai putusan Mahkamah Agung No. 275K/Pid/1983, Mahkamah mempertimbangkan bahwa putusan tersebut merupakan perkara konkret. “Oleh karena itu, berdasarkan UUD 1945, Mahkamah tidak berwenang untuk menilai konstitusionalitas suatu yurisprudensi Mahkamah Agung,” ujar Mahkamah.
Walaupun dalam beberapa putusan Mahkamah telah menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sambung Mahkamah, namun dalam petitum permohonan Pemohon yang dipermasalahkan, bukanlah pertentangan norma suatu UU terhadap UUD 1945, melainkan tafsir-tafsir atas isi suatu UU yang melahirkan yurisprudensi Mahkamah Agung.
“Terlebih lagi, permohonan Pemohon dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 67 dan Pasal 244 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak terdapat permasalahan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang,” ungkap Mahkamah dalam putusannya.
Dalam pertimbangan tersebut, Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon, maka kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan. “Amar putusan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Mahfud. (Shohibul Umam/mh)