Sidang pleno pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap UUD 1945 digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (14/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor.
Dalam sidang mendengarkan jawaban Pemerintah dan DPR, Anggota Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi mengungkapkan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Menurut Tjatur, pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan Pemohon sebagai batu uji, tidaklah relevan dengan dalil-dalil yang diungkapkan oleh para Pemohon. “Pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohom justru menjadi dasar pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur secara adil dan selaras sesuai UU. Serta menjadi dasar pengecualian yang menjadi urusan PP yang diatur UU. Oleh karena itu, ketentuan a quo merupakan salah satu wujud pelaksanaan amanah ketentuan pasal UUD 1945. Tidak ada hak/kewenangan Pemohon yang dirugikan akibat berlakunya pasal-pasal UU Minerba,” urainya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Tjatur memaparkan kerugian yang dialami oleh Pemohon bukanlah berkaitan dengan masalah konstitusionalitas norma dalam UU Minerba, namun penerapan norma di lapangan. Menurut Tjatur, ketentuan dalam Pasal 9 UU Minerba jelas mengatur mengenai penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Pasal 9 ayat (20 UU Minerba menyatakan “WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
“Dalam Pasal 9 UU Minerba telah jelas mengatur penetapan WP ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi DPR harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya yang berwawasan lingkungan. Sehingga sebelum penetapan WP dikeluarkan, maka belum ada izin pertambangan yang boleh dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan tentunya tidak boleh dikeluarkan izin pertambangan. Hal demikian berkaitan dengan penerapan norma, dan sama sekali tidak menyangkut konstitusionalitas pasal-pasal a quo,” papar Tjatur.
Hal serupa juga diungkapkan oleh perwakilan Pemerintah. Pemerintah mengungkapkan ketentuan yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Karena pasal tersebut tidak bertetangan dengan pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon. Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31; Pasal 6 ayat (1) huruf e dan ayat (2); Pasal 9; Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, serta Pasal 19. Robikin menjelaskan pasal-pasal tersebut telah melanggar hak pemohon yang diatur oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Pemohon menganggap jika pasal-pasal tetap berlaku, maka Pemohon selaku Bupati Kutai Timur tidak dapat mengatur dan mengurus penetapan wilayah pertambangan di daerah pertambangan. “Hal tersebut justru mempengaruhi pendapat daerah yang berimbas pada tidak terlaksananya program bagi masyarakat yang telah dicanangkan pada APBD,” tuturnya. (Lulu Anjarsari/mh)