Demokratisasi penyiaran hanya dapat diwujudkan melalui keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi siaran (diversity of content). Hal ini disampaikan oleh Dosen Fikom UNISBA Santi Indra Astuti pada sidang lanjutan pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang digelar pada Selasa (13/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Yayasan Dua Puluh Delapan.
“Izinkan saya mengutip Splichal (1993, dalam Gazali, et.al., 2003) yang menyatakan bahwa demokratisasi penyiaran hanya dapat diwujudkan melalui keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi siaran (diversity of content). Tanpa adanya keragaman tersebut, maka dunia penyiaran selamanya akan berada di bawah tekanan kapitalis dan para pemodal besar yang hanya menginginkan perlindungan bagi investasi yang sudah ditanamkannya. Menjadi tugas akademisi seperti saya—sesuai batasan disiplin ilmu yang saya geluti—guna mendesak dan mengingatkan siapapun bahwa upaya pengaturan UU Penyiaran dari kalangan industri penyiaran komersial yang belum terbukti serius mengupayakan kualitas penayangan program siarannya adalah sesuatu yang dapat mengancam demokratisasi penyiaran,” papar Santi di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Sementara itu, Ahli dari MK, Effendi Ghazali mengungkapkan para pihak yang berperkara dalam persidangan ini merupakan korban dari sistem rating di Indonesia yang tidak pernah diaudit. Menurut Effendi, jika hanya berpatokkan pada rating dan sharing, maka diperlukan sebuah lembaga pengukuran rating dan sharing itu yang betul-betul bisa diaudit. “Dan ini tidak terjadi. ‘Ketidakcerdasan’ nasional ini berlangsung sudah begitu lama sementara di negara seperti Amerika Serikat yang banyak sekali disebut-sebut oleh dosen-dosen saya tadi sudah berlangsung sejak tahun 1960. Kongresnya langsung mengatakan tidak bisa hal yang seperti ini, kita harus mendirikan media rating council karena media inilah yang akan sangat hati-hati sekali,” jelasnya.
Effendi menjelaskan selama memberikan seminar keliling Indonesia, tidak ada satupun peserta yang mengangkat tangan ketika ditanyakan mempunyai pengalaman sebagai responden dari lembaga rating ini. Padahal sekali lagi, lanjut Effendi, ini sangat penting untuk pengaturan mencegah monopoli persepsi ataupun opini publik. “Jadi posisi saya tidak dalam posisi ingin mengatakan bahwa satu perorangan atau pun badan hukum tidak boleh memiliki lebih dari satu stasiun televisi di satu kota, ataupun dalam konteks berjaringan, tidak dalam posisi itu. Saya hanya ingin mengatakan orang harus jujur mengakui apakah dia memiliki perusahaan itu atau bukan? Dan ketika sahamnya berpindah pun dia harus menjelaskan, siapa terakhir yang memiliki saham? Dan kalau misalnya sudah berpindah, dia harus menyerahkannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Apakah dia boleh memiliki lebih dari satu stasiun di sebuah kota? Harus dicek juga asal-usulnya,” urainya.
Sedangkan Ahli dari Pihak Terkait Erman Rajagukguk memaparkan dalam menentukan suatu perusahaan atau dua perusahaan bersama-sama telah melakukan monopoli atas siaran televisi harus dilakukan analisa rule of reason approach. Untuk itu, lanjut Erman, harus ditentukan terlebih dahulu pasar produk dan pasar teritorial atas siaran televisi. “Sebagai kesimpulan, apabila satu perusahaan menguasai sampai tiga stasiun siaran televisi atau dua perusahaan bergabung menguasai 6 stasiun televisi, hal itu tidak dapat dikatakan menguasai siaran televisi di Indonesia, atau melakukan monopoli atas siaran televisi di Indonesia,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Hendrayana, meminta pengujian Pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4)UU No.32/2002 tentang Penyiaran terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Selain itu, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menghilangkan asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran yang secara prinsip bertentangan Pasal 28F UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)