Heriyanto yang sehari-harinya sebagai Tim Asistensi Bawaslu sering mendapat keluhan dari Panwaslu di daerah akibat ketentuan pasal 116 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini mengacu kepada pasal yang salah, yaitu Pasal 83, padahal seharusnya ketentuan yang dilarang diatur dalam Pasal 80.
Hari Kamis (8/3) ini MK menggelar sidang perbaikan dalam perkara Pengujian UU Pemda, - perkara No.17/PUU-X/2012 – di Ruang Sidang Pleno, Lt. 2, Gedung MK. Dalam hal ini, Pemohon mengatakan bahwa dia sudah memperbaiki permohonannya, dimana salah satunya mengenai batu uji dalam UU yang diujikan, terkait dengan kepastian hukum.
“Saya juga memperbaiki batu uji dalam UU ini, yaitu tentang kepastian hukum. Karena kepastian hukum pada Pasal 116 ayat 4 yang merujuk dalam Pasal 83, menjadikan pasal ini tidak operasional,” ucap Heriyanto di depan Majelis Hakim Konstitusi, yang dipimpin oleh Anwar Usman, didampingi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai anggota.
Adanya Pasal 116 ayat 4 yang merujuk pada Pasal 83, lanjut Pemohon membuat Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilihan Umum) daerah bingung. “Panwas menjadi kebingungan di tingkat daerah. Padahal, ketentuan tindak pidana ini dilarang dalam Pasal 80 UU No. 32 tahun 2004,” urai Pemohon.
Kemudian, sambung Pemohon, Panwaslu merupakan pintu awal dari Electoral Criminal Justice System (sistem penegakan hukum terpadu) dalam pemilihan umum bersama dengan kepolisian dan kejaksaan. “Panwas harus bisa menguraikan tindak pidana Pemilu. Jika pasal ini salah merujuk, tentunya pasal ini tidak akan menjadi operasional dan tidak pasti,” ungkapnya. “Sehingga laporan terkait dengan Pasal 116 ayat 4 ini tidak bisa ditindak lanjuti, karena ini akan pasti akan gugur di kepolisian. Pasal ini tidak bisa membuktikan dalam unsur-unsurnya,” tambah Heriyanto.
Dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda berbunyi, “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Pasal ini menurut Pemohon tidak dapat ditindaklanjuti. Ketentuan tersebut telah menciptakan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan ketidakmanfaatan. “Kondisi ini melanggar equality before the law, persamaan di depan hukum,” tutur Pemohon sebelumnya. Karena itu dia kemudian menggunakan empat batu uji dalam UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1).
Oleh sebab itu, dalam tuntutan (petitum), Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Pasal 116 ayat (4) UU Pemda tersebut sepanjang frasa “…sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83”, frasa seharusnya adalah “sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 80”. Sebab Pasal 83 tersebut tidak mengatur substansi peristiwa pidana yang dilakukan oleh pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional, melainkan hanya mengatur subyek pasangan calon dan/ atau tim kampanye. (Shohibul Umam/mh)