Pengetatan Remisi Dibatalkan, Jubir MK: Urus Negara Tak Bisa Amatiran!
Kamis, 08 Maret 2012
| 09:09 WIB
Jakarta Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Pengetatan Remisi menunjukan pemerintah tidak profesional dalam memerintah. Hal ini juga menunjukan Kementerian Hukum dan HAM tidak mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
"Kekalahan ini disebabkan karena pejabatnya amatiran. Tidak profesional dan mempermainkan hukum untuk kepentingan pencitraan semata-mata," kata juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar saat berbincang dengan detikcom, Rabu (7/3/2012).
Pembatalan kebijakan ini juga menunjukan pemerintah tidak memperhatikan prosedur peraturan. Serta asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pemerintah menilai dirinya sendiri mempunyai kekuasaan yang tak terbatas sehingga bisa membuat peraturan semaunya.
"Pejabatnya waktu membuat keputusan di luar kepatutan. Menganggap dengan kekuasaan yang ada pada mereka tak terbatas dan seakan akan dirinyalah hukum yang bisa seenaknya melanggar hak-hak orang lain," ungkap Akil.
Seharusnya pemerintah dalam membuat SK tersebut memperhatikan rambu-rambu yang ada. "Seakan-akan pemerintah telah bekerja dengan benar dan kebijakan yang mereka buat itulah kebenaran. Padahal itu melanggar hukum dan kepatutan serta asas umum pemerintahan yang baik," ujar Akil mengingatkan pemerintah.
Seperti diketahui, 7 penggugat SK tersebut terpidana korupsi. Tiga orang terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; dua terpidana kasus korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan dua lainnya terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Ketujuh terpidana kasus korupsi tersebut awalnya mendapat Putusan Bebas (PB) yang dikeluarkan pada 30 Oktober 2011, terhadap 11 orang. Namun PB tersebut tiba-tiba dibatalkan setelah Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) mengeluarkan pengetatan remisi pada 31 Oktober 2011. Mereka akhirnya melakukan gugatan ke PTUN Jakarta.