Walapun kepolisian lebih terlatih untuk mengumpulkan bukti-bukti di tempat terjadinya kejahatan, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Karena ia memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan. Sehingga polisi tergantung terhadap jaksa.
“Jaksa itu lebih mahir dalam masalah yuridis (hukum) dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungkan ke pengadilan,” ucap Ahli Pemerintah Achmad Ali selaku Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar, saat memberikan keterangan perkara No. 2/PUU-X/2012, dalam pengujian UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI, khususnya Pasal 30 ayat (1) huruf d dan Penjelasannya, terhadap UUD 1945, di Mahkamah Konstitusi, Rabu (7/3).
Bahkan di negara-negara di dunia, lanjut Ali, jaksa walapun melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap bisa memiliki kebijaksanaan (diskresi) penentuan yang luas. “Dengan kata lain, jaksa itu memiliki kekuasaan untuk menentukan apakah akan menentukan atau tidak menentukan terkait segala perkara pidana,” ucap Ali.
Di sampang itu, Ali menambahkan bahwa dalam pidana khusus, khususnya tindak pidana korupsi, yang namanya criminal justice sistem (sistem peradilan pidana) dalam dewasa ini adalah penyidikan dan penuntutan berada dalam satu atap. “Alangkah kelirunya jika ada anggapan bahwa dengan memberikan kewenangan penyidikan dan proses penuntutan kepada kejaksaan merupakan disharmoni,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Ali, berdasarkan fakta dari sudut profesionalisme, kejaksaan ataupun Jaksa Agung, jauh lebih mahir dalam masalah yuridis, mengingat persyaratan untuk menjadi jaksa adalah minimal berpendidikan sarjana hukum. “Sehingga tidak bertantangan dengan asas profesionalisme,” ucapnya.
Mayoritas Negara
Kemudian Ahli Pemerintah yang lain adalah Andi Hamzah selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa kewenangan jaksa menyidik berlaku di mayoritas negara. Hanya minoritas negara yang tidak memberlakukan kewenangan jaksa menyidik. "Mayoritas negara di dunia menganut jaksa dapat menyidik dan mensupervisi penyidikan," katanya.
Kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan, menurut Andi, telah dinyatakan legal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Jaksa dapat menyidik delik tertentu dan pelaku tertentu diperkuat oleh putusan Kongres PBB 1990 tentang peran jaksa di dunia. Putusan tersebut diterima secara aklamasi, termasuk delegasi Indonesia," ujarnya.
Selain itu, Andi juga mencontohkan negara yang menerapkan kewenangan jaksa dalam menyidik adalah negara Belanda. Hal ini, mereka merujuk Pasal 141 Sv (KUHAP Belanda). Selain itu, tambah Andi, Perancis juga menerapkan kewenangan penyidikan pada jaksa. Hal itu termaktub dalam Pasal 38 code de procedure penale.
Sementara, Indriyanto S.A melengkapi ahli berikutnya. Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa jaksa memiliki kewenangan penyidikan secara legislatif yaitu tindak pidana khusus, tindak pidana yang meresahkan masyarakat, dan yang sulit pembuktiannya, serta adanya pencucian uang yang mengancam keselamatan negara. “Jaksa juga berhak melakukan petunjuk dan menentukan tepat tidaknya alat bukti penyidikan dari penegak hukum lainnya,” terangnya.
Sidang perkara ini dimohonkan oleh Djailudin Kaisupy. Dalam dalilnya, Pemohon mengatakan bahwa UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d, yang berbunyi bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Kemudian penjelasan pasal tersebut menyatakan kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. (Shohibul Umam/mh)