Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki mengatakan, ada komentar-komentar seakan-akan MK melegalkan perzinaan. Padahal tidak ada satu kalimat pun dalam putusan No. 46/PUU-VIII/2010, dalam pengujian UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, melegalkan adanya perzinaan. Tetapi putusan MK semata-mata melindungi keperdataan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang tidak berdosa dan tidak meniadakan tanggung jawab orang tuanya, baik ibu maupun bapak biologisnya.
“Zina tetap zina, baik dalam perspektif hukum barat maupun hukum Islam. Tetapi bahwa kemudian zina itu menimbulkan ada anak, hal inilah yang mereka tidak pikir. Mau dikemanakan anak itu?” ujar Sodiki dalam konferensi pers di Gedung MK, Rabu (7/3) siang.
Sementara itu Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan, terkait putusan No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Dikatakan Fadlil, anggapan bahwa MK seolah-olah menghalalkan perzinaan, ternyata tidak ada sama sekali.
“Mahkamah fokus pada perlindungan anak yang dianggap tidak berdosa itu, teraniaya karena ada stigmatisasi tanpa ayah dan stigmatisasi tentang tidak adanya pelindung dan penanggung jawab bagi tumbuh dan berkembangnya secara wajar bagi seorang anak,” urai Fadlil.
Dalam konferensi pers tersebut, Mahkamah merasa perlu memberikan beberapa penegasan dan penjelasan terkait tiga hal. Hal pertama, perspektif alamiah dan konstitusionalitas mengenai putusan UU Perkawinan itu. Di antaranya dijelaskan, bahwa setiap kelahiran, secara alamiah pasti didahului kehamilan seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan melalui hubungan seksual dengan lelaki atau melalui rekayasa teknologi.
“Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” papar Fadlil.
Fadlil melanjutkan, peraturan perundang-undangan merupakan instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. Tanggung jawab tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan, bukan hanya pada salah satunya.
Hal kedua yang menjadi penegasan terkait putusan No. 46/PUU-VIII/2010, soal makna hukum putusan tersebut. Bahwa putusan MK membuka kemungkinan bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya, melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dalam masyarakat.
“Putusan ini tidak berkait dengan sah atau tidak sahnya perkawinan, tetapi hanya untuk memberikan perlindungan keperdataan kepada anak. Putusan ini juga tidak melegalkan adanya perzinaan. Harus dipahami bahwa antara memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinaan merupakan dua rezim hukum yang berbeda,” ungkap Fadlil.
Hal ketiga yang menjadi penegasan terkait putusan ini, yaitu soal perspektif UU Perkawinan. Bahwa UU Perkawinan memiliki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara.
“Namun dalam pengertian materiilnya merupakan hukum yang bersifat majemuk, sehingga normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang pada pokoknya menyatakan norma sahnya perkawinan adalah ‘menurut agama’ yang dipeluk oleh masing-masing pasangan,” tandas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)