Pihak Pemerintah menyampaikan opening statement atas permohonan pengujian Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Pleno Lantai 2, Gedung MK, Selasa (6/3). Opening statement yang dibacakan Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Suyanto menggarisbawahi bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti yang dituduhkan Pemohon.
Suyanto membacakan bahwa RSBI dan SBI tidak seperti yang dituduhkan Pemohon yang menyatakan keduanya bertentangan dengan semangat mencerdaskan bangsa. Justru, lanjut Suyanto, dalam rangka mrncerdaskan kehidupan berbangsa, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Lebih lanjut, Suyanto memaparkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat saat ini memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk daya saing pendidikan Indonesia dalam skala global. RSBI yang saat ini sedang dalam pengembangan itu hadir untuk menghasilkan lulusan yang melampui standar nasional pendidikan sehingga memiliki daya saing komparatif tinggi, termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. “Oleh karena itu, menurut hemat kami, RSBI atau SBI tidak bertentangan dengan semangat mencerdaskan bangsa,” ujar Suyanto.
Terkait dengan tuduhan Pemohon yang menyatakan RSBI dan SBI menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan juga ditampik oleh pihak Pemerintah yang diwakili Suyanto. Pihak Pemerintah beragumen bahwa berdasar psikologi peserta didik dapat dibedakan kemampuannya menjadi kelompok peserta didik berkemampuan kurang, berkemampuan sedang, dan berkemampuan tinggi.
“Peserta didik pada satuan pendidikan RSBI dan SBI termasuk dalam kelompok peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat tinggi. Perlakuan itu bukan diskriminasi, karena menurut putusan MK No.27/PUU-V/2007 saja dinyatakan bahwa memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda bukanlah diskriminasi,” bantah Suyanto.
Dihujani Pertanyaan
Sidang kali ini dihadiri seluruh hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang, yaitu Moh. Mahfud MD, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva. Kesembilan hakim konstitusi tersebut menanyakan beberapa pertanyaan kepada pihak pemerintah yang dijawab oleh Suyanto.
Pertanyaan pertama diajukan oleh Akil Mochtar yang menanyakan apakah tujuan dari adanya standar internasional merupakan tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia atau standar internasional tersebut bersifat komplementer. Pertanyaan lain meluncur dari Hamdan Zoelva. Ia menanyakan standar internasional dari negara mana yang diajukan menjadi standar internasional dalam pelaksanaan RSBI atau SBI.
Hakim Maria Farida menanyakan, mengapa Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk perbedaan adanya RSBI dan SBI yang membuat masyarakat yang tidak mampu merasa diperlakukan diskriminatif. “Apakah kita seperti zaman Hindia Belanda yag membeda-bedakan pendidikan untuk kalangan tertentu. Ini dampaknya akan luas, apakah sudah ada evaluasinya?” tanya Maria dengan heran.
Suyanto kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan para hakim konstitusi satu per satu. Ia menjawab bahwa RSBI dan SBI hanya bersifat komplementer, jadi tidak semua sekolah di Indonesia yang jumlahnya ribuan ditargetkan menjadi RSBI dan SBI. “Jumlah RSBI atau SBI sangat kecil dari seluruh sekolah yang ada di Indonesia yang jumlahnya ribuan,” jawab Suyanto.
Keberadaan RSBI dan SBI memiliki filosofi, yaitu jangan menghambat yang cepat dan jangan juga meninggalkan yang harus ditolong. Dengan begitu, peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi atau dengan kata lain pintar, memiliki tempat yang lebih sesuai untuk belajar yakni di RSBI atau SBI. Sedangkan untuk peserta didik yang sedang-sedang saja atau kurang juga masih disediakan sekolah negeri lainnya. “Ini juga untuk mencegah peserta didik lari ke sekolah di luar negeri untuk mencari ‘tantangan’ belajar yang lebih lagi. Tapi, bukan berarti RSBI dan BSI itu mahal, ada kok yang gratis seperti di Surabaya dan Nunukan,” jelas Suyanto. (Yusti Nurul Agustin/mh)