Sesungguhnya daerah kaya sumber daya alam telah memperoleh anggaran yang relatif besar. Ironisnya, kemiskinan dan pengangguran di daerah kaya ini masih relatif tinggi, dan pembangunan infrastrukturnya masih relatif lambat. Akan tetapi, yang lebih menentukan baik buruknya kinerja pembangunan daerah, bukanlah tingginya pendapatan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), melainkan kemampuan pemerintah daerah (Pemda) dalam membelanjakan sumber daya fiskal yang dimiliki secara efektif, dan efisien.
Demikian disampaikan oleh Ahli Pemerintah Hermanto Siregar, saat memberikan keterangan ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (28/2). Dalam kesempatan sidang perkara No. 71/PUU-IX/2011 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah.
Hermanto dalam ketarangannya juga mengatakan baik buruknya kinerja pembangunan daerah yaitu kapasitas SDM yang rendah dan integritas moral yang kurang memadai. Hal demikian menyebabkan APBD yang besar sangat rawan menjadi sasaran korupsi, atau setidaknya akan memperbesar peluang terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip good governance .
“Bila ini kita biarkan terjadi, maka masuklah kita ke dalam situasi yang disebut oleh pemenang Nobel bidang ekonomi Prof. Stiglitz sebagai kutukan sumber daya atau resource curse (tiada kemajuan di tengah melimpahnya sumber daya alam, Red). Tentu kita tidak menginginkan kutukan ini, namun yang kita inginkan adalah keberkahan sumber daya,” urai Hermanto.
Kisah Tragis
Pada kesempatan yang sama, dihadirkan juga saksi dari Pemohon, Suyoto selaku Bupati Bojonegoro, Jawa Timur. Dalam ketarangannya, ia mengatakan bahwa kesulitan yang dialami oleh Kalimantan Timur, sesungguhnya juga kesulitan yang dialami oleh Bojonegoro, terutama pada saat kami harus melaksanakan tugas negara menyejahterakan rakyat kami di Bojonegoro.
Lebih dari itu, kata Suyoto, rakyat Bojonegoro juga mempunyai mimpi yang luar biasa. “Ketika ada industri migas, eksplorasi, eksploitasi migas di Bojonegoro, kami semua berharap pada tahun 2000 rakyat Bojonegoro gegap gempita, bahkan membayangkan Bojonegoro akan menjadi Texas-nya Amerika,” harapnya. “Karena itulah rakyat kami melepas tanah,” tambah Suyoto.
Sayangnya, lanjut Suyoto, dengan melepas tanah, ribuan rakyat Bojonegoro harus kehilangan sumber pendapatan dari tanah. Masyarakat Bojonegoro harus menerima debu dari proses eksplorasi dan eksploitasi. Jalan-jalan yang ada di Bojonegoro jauh lebih cepat rusak, karena dipakai eksplorasi dan eksploitasi. “Belum lagi ketakutan karena Bojonegoro tidak jauh dari lumpur lapindo,” terangnya.
Namun apa yang terjadi sekarang, menurutnya, walaupun Kab. Bojonegoro mendapatkan produksi kira-kira 60.000 barel per hari, karena hampir di semua kawasan Bojonegoro ada minyak, tetapi masyarakat Bojonegoro sekarang masih harus berjibaku memperoleh lapangan kerja di sana-sini. “Oleh sebab itu, kemampuan pemerintah untuk membantu rakyat masih jauh, karena kemampuan fiskal kami tidak sepadan dengan tuntutan problem yang harus kami hadapi,” tegas Suyoto.
Rasanya dengan bagi hasil yang sekarang ini, Suyoto melanjutkan, sangat tidak memadai ketika masyarakat harus memikul seluruh persoalan-persoalan sosial, dan juga harus memikirkan masa depan ketika minyak di Bojonegoro nanti habis. “Rasanya juga sangat adil bila kami yang akan kehilangan minyak, kemudian kami juga yang harus memperoleh kesempatan menjadi lebih mandiri dan secara sejajar dengan daerah-daerah lain di luar Bojonegoro,” terangnya.
Pada kesempatan terakhir, Sodiki selaku pimpinan sidang pleno tersebut menanyakan kepada Pemohon dan Pemerintah, apakah sidang ini perlu dibuka kembali. “Cukup yang mulia,” ucap kuasa Hukum Pemohon, Wakil Kamal saat ditanya oleh Majelis Konstitusi.
Selanjutnya, Sodiki mengatakan, para Pemohon dan Pemerintah diberikan kesempatan untuk menyerahkan kesimpulan kepada Mahkamah. “Oleh karena itu, kita memberi kesempatan untuk menyerahkan kesimpulan tanggal 9 Maret, pukul 16.00 WIB, tahun 2012,” jelas Sodiki.
Seperti diwartakan sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Sundy Ingan, Andu, Luther Kombong, H. Awang Ferdian Hidayat, Muslihuddin Abdurrasyid, dan H. Bambang Susilo mendalilkan UU Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah inkonstitusional, terutama Pasal 14 huruf e yang berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 15,5% untuk Daerah".
Sedangkan, Pasal 14 huruf f berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 30,5% untuk Daerah.”Dalam Pasal tersebut, ”frasa 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah dan frasa 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (3), dan (4), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33, UUD 1945. (Shohibul Umam/mh)