Larangan untuk menggunakan lambang negara Garuda Pancasila seharusnya dijelaskan secara material dan formal. Hal ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Filsafat UGM Mukhtasar Syamsudin selaku Ahli Pemohon dalam sidang pengujian UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan pada Kamis (1/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 4/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (Pemohon I), Ryan Muhammad (Pemohon II), Bervilia Sari (Pemohon III), Erwin Agustian (Pemohon IV), dan Eko Santoso (Pemohon V).
“Lambang negara khususnya Garuda Pancasila dari dua sudut pandang aspek kausal material bahwa lambang negara Garuda Pancasila berasal dari bangsa Indonesia. Dari adat istiadat, kebudayaan dan dari sana muncul cita-cita untuk mencapai tujuannya menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara material, nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila itu adalah pantas dan patut diklaim milik bangsa dan negara karena secara original bersumber dari diri bangsa Indonesia itu sendiri. Bagi makhluk yang berakal, bisa dianggap menghargai ciptaannya yang berupa lambang itu. Sebetulnya larangan untuk menggunakan lambang perseorangan harus dijelaskan secara material dan formal,” urainya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Menurut Mukhtasar, lambang lambang sudah mengandung nilai keagungan yang tanpa diperintah pun manusia akan menyikapi sebagai karya atau buah pikirnya sebagai makhluk Tuhan. “Garuda Pancasila (merupakan) sebuah simbol dimana bangsa Indonesia mengapresiasi setiap simbol yang ada di dalamnya dengan kebanggan itu ada kebebasan untuk mengapresiasi dalam koridor untuk mencapai tujuan yang ada dalam Garuda Pancasila itu sendiri,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Pemerintah yang diwakili oleh Chairil Anwar N., mengemukakan Pasal 57 huruf c dan d UU No. 24/2009 tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti yang didalilkan oleh Pemohon. “UU a quo justru menjunjung tinggi hukum dan tidak menghilangkan hak setiap orang dalam mendapatkan jaminan hukum. UU a quo juga tidak menghilangkan hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Wahyudi selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 57 huruf c dan d UU No. 24/2009. Pasal 57 huruf c dan d menyatakan, “Setiap orang dilarang: … (c) membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d) menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Menurut Wahyudi, Pemohon IV dan Pemohon V pernah terkena hukuman vonis pengadilan selama 3 bulan akibat berlakunya pasal tersebut.
“Menurut Pemohon, cara mempergunakan lambang kenegaraan bukan untuk penghinaan terhadap lambang negara, melainkan sebagai bentuk ekspresi nasionalisme masyarakat terhadap lambang negara. Padahal Pemohon hanya menggunakan lambang negara ‘Garuda Pancasila’ untuk stempel organisasi pemohon. Dan itu dilakukan sebagai bagian rasa nasionalisme Pemohon,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)