Uji Undang-Undang (UU) No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terhadap UUD 1945, di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/3), telah memasuki sidang ke-3. Sidang yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PUU-X/2012 tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR RI, dan Ahli dan/atau Saksi dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam hal ini, Pemerintah mendapatkan kesempatan pertama dalam memberi keterangan saat pengujian UU tersebut. Dalam keterangannya, Marwanto Harjowiryono selaku perwakilan Pemerintah mengatakan bahwa apabila para Pemohon mempersoalkan Pasal 1 angka 13 UU PDRD, khususnya batasan pengertian, singkatan, atau hal-hal yang bersifat lain, maka menurut Pemerintah, hal demikian sangat tidak beralasan, dan tidak tepat.“Justru ketentuan UU a quo memberi gambaran dan arah yang jelas terhadap apa yang dimaksud dengan kenderaan bermotor,”ucap Marwanto.
Lebih dari itu, Marwanto menjelaskan bahwa kerugian yang dialami para Pemohon sebenarnya bukan disebabkan dari norma dari yang terkandung dalam Pasal a quo, akan tetapi pasal tersebut sudah menjelaskan secara jelas bagaimana pemungutan pajak dan retribusi daerah atas alat berat oleh Pemerintahan Daerah. "Hal demikian sepenuhnya merupakan kewenangan daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah,” ujarnya.
Di samping itu, Pemerintah juga menyampaikan bahwa para Pemohon jika mengaitkan Pasal a quo dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang merupakan batu uji dari pemohonan pada Perkara ini, maka para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional.
Sementara jika permohonan para Pemohon dikabulkan MK, sambung Marwanto, maka akan menimbulkan kerancuan, ketidakjelasan, dan ketidakpastian dalam definisi kendaraan bermotor dalam UU. “Padahal definisi tersebut dalam UU a quo sangat dibutuhkan sebagai dasar pengenaan pajak, sehingga hal tersebut dapat berakibat timbulnya ketidakpastian hukum dalam aturan pajak dan retribusi daerah,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Yahdil Abdi Harahap. Dalam hal ini, DPR menanggapi keterangan para Pemohon terkait dengan alat-alat berat dan alat-alat besar merupakan tidak tepat dijadikan sebagai objek pajak karena alat tersebut merupakan alat untuk berproduksi. Namun, hal demikian menurut DPR, penentuan objek pajak adalah kebijakan yang berasal dari UU. “Alat-alat berat dan alat-alat besar, bisa dijadikan objek pajak selama hal tersebut ditentukan oleh UU,” tutur Yahdil.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yakni alat-alat berat dan alat-alat besar dalam UU lalu lintas tidak termasuk dalam katagori kendaraan bermotor, sehingga alat-alat berat tidak dapat diberikan PKB dan BPNKB, menurut DPR, UU PDRD merupakan dasar untuk menentukan objek pajak sesuai dengan UU yang berlaku.
Sehingga, DPR dalam akhir keterangannya meminta kepada MK supaya menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). “Sehingga permohonannya tidak dapat diterima,” jelas Yahdil. Selain itu, DPR juga memohonkan supaya Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 12 ayat (2) UU a quo tidak berrtentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “UU a quo tetap memiliki hukum yang mengikat,” tambahnya.
Di ujung persidangan, pimpinan Majelis M. Akil Mochtar mengatakan bahwa sidang hari ini ditunda dan akan dilanjutkan kembali untuk mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon dan Pemerintah. “Sidang berikutnya akan ditunda pada 15 Maret 2012, Jam 11 pagi, untuk mendengarkan keterangan Ahli/Saksi baik dari Pemohon atau Pemerintah, atau DPR juga kalau ada,” terang Akil.
Para Pemohon adalah PT. Bukit Makmur Mandiri Utama diwakili oleh Budikwanto Kuesar, PT. Pamapersada Nusantara dengan Dwi Priyadi, PT. Swa Kelola Sukses dengan Freddy Samad, PT. Ricabana Abadi dengan Jemmy Sugiarto, PT. Nipindo Prima Mesin dengan Nierwan Judi, PT. Lobunda Kencana Raya dengan Dipar Tobing, dan PT. Uniteda Arkato yang diwakili Muhammad Yani Kasmir. Semua perusahaan diwakili oleh Direktur-nya masing-masing.
Menurut para Pemohon, Uji materi UU No. 28/2009 tentang PDRD, khususnya Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2), Pasal tersebut tidak bisa memberi azas kepastian hukum terhadap para Pemohon. Rincian Pasal 1 angka 13 yang berbunyi, sepanjang frasa “…termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen…”. Dan, Pasal 5 ayat (2), berbunyi, sepanjang frase “… termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar…”. Serta Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2), bertentangan dengan UUD 1945, salah satunya Pasal 28D Ayat (1). (Shohibul Umam/mh)