Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) menegaskan kewenangan presiden dan lebih memperkokoh kekuasaan diskresi presiden. Hal ini disampaikan oleh Adnan Buyung Nasution ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemerintah dalam sidang pengujian UU Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/2). Sidang perkara dengan Nomor 79/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Adi Warman.
“Pasal a quo hanya menegaskan kembali hak presiden untuk mengangkat menteri karena sebenarnya kewenangan presiden adalah untuk menetapkan sendiri organ kepemerintahannya. Karena sistem presidensial memang memberikan kekuasaan penuh terhadap presiden. Tidak membatasi kewenangan presiden karena itu adalah political appointee. UU ini memperkokoh kewenangan diskresi presiden,” urai Adnan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menurut Adnan, permohonan yang diajukan oleh Pemohon bersifat absurd, terutama jika ditilik dari kedudukan hukum (legal standing). Sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada pemberantasan korupsi, lanjut Adnan, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena masalah ketentuan a quo tidak berhubungan dengan korupsi sama sekali. “Permohonan judicial review ini agak absurd kalau dipersoalkan dari legal standing. Apalagi pemohon maju sebagai lembaga swadaya pemberantasan korupsi. Tidak ada dalam sejarah Indonesia, sebuah lembaga menjadi menteri,” paparnya.
Selain itu, Adnan mengungkapkan ada kontradiksi dalam permohonan pemohon. Hal tersebut karena Pemohon meminta agar pasal tersebut dihapuskan karena melanggar hak konstitusional Pemohon, namun pada dasarnya justru mengatur mengenai partisipasi untuk ikut serta dalam pemerintahan. “Ada kontradiksi, di satu pihak ketentuan melanggar hak konstitusional karena dinilai tidak bisa ikut dalam pemerintahan, namun di lain pihak minta dihapuskan pasal a quo. Kalau ingin berpartisipasi dalam pemerintahan seharusnya Pasal a quo harus dipertahankan. Harusnya yang mereka (Pemohon, red.) minta adalah penafsiran,” terangnya.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Ahli Pemerintah ini, Pemerintah juga menghadirkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Amir mengungkapkan pentingnya keberadaan wakil menteri dalam lingkungan kementerian yang dinaunginya. “Kementerian Hukum dan HAM menaungi 43.000 pegawai dan secara organisatoris, terdiri atas 11 unit utama eselon I, 33 kakanwil, 564 pelaksana teknis, khususnya di lapas. Jadi, terasa benar kebutuhannya kehadiran seorang wakil menteri,” lanjut Amir.
Amir pun mengungkapkan wakil menteri dalam kementerian yang dinaunginya meliputi beberapa lingkup tugas dan luasnya rentang kendali, di antaranya perumusan kebijakan, monitoring program reformasi birokrasi, koordinasi pengadaan barang dan jasa, pembenahan sistem pemasyarakatan, serta penilaian dan penetapan pengisian jabatan. “Sedangkan mengenai dalil Pemohon adanya pemborosan dengan keberadaan wakil menteri, kami sendiri menggunakan kebijakan sederhana yang artinya jika ke daerah-daerah, kami tidak lagi menggunakan penyambutan,” jelasnya.
Hadirpula dalam sidang tersebut, Sejarawan Anhar Gonggong yang mengungkapkan tidak adanya pertentangan antara UU Kementerian Negara dengan UUD 1945. Hal serupa juga diungkapkan oleh Judan Arief yang mengemukakan bahwa seharusnya UUD 1945 tidak hanya dibaca secara tekstual, namun juga harus melalui filosofi di belakang pasal-pasal tersebut. “Adanya wakil menteri yang tidak disebut dalam UUD 1945 merupakan analog dengan organ-organ lain yang tidak disebutkan, seperti sekretaris jenderal,” ucapnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa jabatan wakil menteri dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai negara sipil dengan modus operandi membagi-bagi jabatan wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan presiden sebagai kroni-kroni presiden. Sidang berikutnya direncanakan pembacaan putusan yang akan digelar pada Rabu, 7 Maret 2012. (Lulu Anjarsari/mh)