Pasal 71 Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diujikan oleh Pemohon Dj. Siahaan, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (29/2), telah memasuki sidang pembacaan putusan. Dalam hal ini Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian disampaikan oleh pimpinan sidang Moh. Mahfud MD, saat membacakan putusan perkara No. 47/PUU-IX/2011, di Ruang Sidang Pleno MK, Gedung MK, Jakarta.
Dalam dalil Pemohon menyatakan bahwa Pasal 71 UU 20/2003 yang menyatakan, “Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)". Pasal tersebut diujikan oleh Pemohon terhadap Pembukaan, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945.
Kemudian, Pemohon juga mendalilkan bahwa adanya Pasal 71 Undang-Undang tersebut telah menghambat upaya dan langkah Pemohon untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara dengan adanya pasal tersebut, Pemohon tidak bisa menjalankan perguruan tinggi Universitas Generasi Muda Medan secara baik.
“Pasal a quo mengkriminalisasi tindakan yang dilakukan Pemohon. Padahal tindakan Pemohon adalah bentuk partisipasi Pemohon dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, " tulis Mahkamah, saat mengutip dalil Pemohon. Berdasarkan dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah perlu menimbang bahwa isu konstitusional yang harus dijawab adalah apakah syarat adanya izin dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan memidana seseorang yang menyelenggarakan pendidikan tanpa izin adalah bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, berdasarkan UUD 1945 menyatakan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan wajib untuk mengikuti pendidikan dasar serta pemerintah wajib membiayainya. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah juga harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. “Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan UUD 1945, tanggung jawab utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa termasuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi berada pada pemerintah,” ujar Mahkamah.
Lebih lanjut, Mahkamah juga menambah bahwa UUD 1945 juga tidak secara tegas melarang atau mewajibkan masyarakat untuk mengambil peran dalam penyelenggaraan pendidikan, namun UUD 1945 memberikan jaminan dan hak bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. “Penyelenggaraan satuan pendidikan oleh warga negara, badan hukum privat dan/atau kelompok masyarakat secara sukarela adalah salah satu bentuk partisipasi warga negara dalam pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi,” tutur Mahkamah.
Pada sisi lain, menurut Mahkamah, negara yang diberi tanggung jawab oleh konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketentuan konstitusi tersebut, lanjut Mahkamah, mengandung makna bahwa negara dapat mengatur agar pendidikan diselenggarakan dengan benar dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Negara juga berkewajiban untuk melindungi hak-hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai statusnya dalam jenjang pendidikan formal yang diikutinya dalam suatu unit pendidikan.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, wajar dan sesuai konstitusi, negara mengatur perizinan bagi penyelenggaraan pendidikan formal dan non-formal baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi warga negara yang mengikuti pendidikan formal atau non-formal serta mendapatkan ijazah dan sertifikat kompetensi yang diakui oleh negara.
Namun, menurut Mahkamah, pendidikan Formal dan non-formal berbeda halnya dengan penyelenggaraan pendidikan informal oleh masyarakat dengan tanpa memberikan sertifikasi kompetensi tertentu. “Dalam hal demikian, negara tidak dapat mencampurinya sepanjang tidak merugikan peserta didik dan tidak menggangu ketertiban umum," tegas Mahkamah.
Menimbang bahwa karena negara berwenang untuk mencegah terjadinya penyelenggaraan pendidikan yang merugikan masyarakat, maka negara melalui peraturan perundang-undangan dapat melakukan pengaturan yang bersifat administratif maupun pidana. “berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum,” jelas Mahkamah. (Shohibul Umam/mh)