Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap UUD 1945 kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (24/2), di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor.
Dalam sidang beragendakan pemeriksaan perbaikan, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Robikin Emhas, mengungkapkan telah memmperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya. Robikin juga mengungkapkan adanya beberapa koreksi yang sudah dicantumkan dalam perbaikan permohonan. "Ada koreksi-koresksi lagi dan sudah disatukan. Ada satu ketentuan sebagai konsekuensi, jika ketentuan sebelumnya dikabulkan, maka konsekuensinya ketentuan ini juga akan ikut. Jadi kami masukan. Ada juga satu petitum tambahan," urainya.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono, meminta agar Pemohon menunggu untuk panggilan sidang berikutnya. "Permohonann ini nanti akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk dibahas apa bisa diteruskan atau tidak. Pemohon hanya tinggal menunggu panggilan sidang selanjutnya," jelas Harjono.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31; Pasal 6 ayat (1) huruf e dan ayat (2); Pasal 9; Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, serta Pasal 19. Robikin menjelaskan pasal-pasal tersebut telah melanggar hak Pemohon yang diatur oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. "Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghilangkan batasan administrasi wilayah. Akan tetapi, Pasal 1 angka 29 UU Minerba justru menabrak batasan tersebut," urai Robikin di dalam sidang pemeriksaan pendahuluan.
Menurut Robikin, Pemohon merasa Pemerintah berhak mengatur energi, sumber daya, dan mineral di daerah. "Padahal di dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 sudah diatur bahwa Pemerintahan Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan dengan otonomi daerah masing-masing," jelasnya.
Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal-pasal tersebut tetap berlaku, maka Pemohon selaku Bupati Kutai Timur tidak dapat mengatur dan mengurus penetapan wilayah pertambangan di daerah pertambangan. "Hal tersebut justru mempengaruhi pendapat daerah yang berimbas pada tidak terlaksananya program bagi masyarakat yang telah dicanangkan pada APBD," tuturnya. (Lulu Anjarsari/mh)