JAKARTA, suaramerdeka.com - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita," kata Kunthi Tridewiyanti, Komisioner, Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Komnas Perempuan, di Jakarta, Senin (27/2).
Menurut dia, sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri.
"Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan,"papar Kunthi.
Dia menandaskan, atas keadaan itu, sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. "Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu,"katanya.
Kunthi menyatakan, sebagaimana disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri.
Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.