Acara Temu Wicara Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) berlangsung selama tiga hari, Jumat-Minggu, (24-26/2). Para peserta yang berjumlah sekitar 200-an orang dari kalangan pendidik perguruan tinggi dan sekolah katolik se-Indonesia tersebut, diberikan sejumlah materi oleh para hakim konstitusi.
Dalam sesi-sesi tersebut terdapat enam pembicara dari hakim konstitusi. Mereka adalah Achmad Sodiki (Wakil Ketua), Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Akil Mochtar, Harjono, dan Anwar Usman. Sedangkan pembicara lainnya adalah mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.
Dalam kesempatan tersebut, Sodiki menyampaikan tentang “Mahkamah Konstitusi, Penegakan Hukum Progresif, dan keadilan Substantif.” Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa tidak mustahil bagi penegak hukum sendiri harus menghadapi kenyataan adanya hukum yang sesungguhnya telah membusuk dan mati. “Oleh karena itu, penegak hukum diharuskan melakukan terobosan dan penafsiran hukum sebagaimana dari kewajiban dari seorang hakim yakni nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.”
Sementara itu, Maria Farida yang menyampaikan tema “Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945,” mengatakan bahwa dalam putusan MK, khususnya pengujian UU, ketika dikabulkan permohonannya, maka pasal yang dipermasalahkan tetap ada dalam UU tersebut, tetapi asas hukum mengatakan peraturan tersebut telah bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, “maka pasal tersebut tidak berlaku. tetapi pasal tersebut masih ada di sana,” ucap Maria.
Selain itu, Patrialis menyampailan terkait dengan “Perubahan UUD 1945 dan Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan UUD 1945”. Dalam paparannya, ia mengatakan bahwa semua ciptaan manusia sangat dimungkinkan akan berubah tergantung dengan kondisi jiwa bangsa ini, termasuk dalam perubahan UUD 1945. “Akan tetapi, meskipun kita mempunyai suku yang berbeda, saat membahas konstitusi menjadi cair dan bersatu untuk melakukan perubahan UUD,” urainya.
Kemudian, Alim dalam kesempatan itu menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi, dan Kewenangan Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan Memutus Pembubaran Partai Politik.” Menurutnya, para pihak yang ingin bersengketa dalam SKLN, sebelum menjatuhkan putusan, MK dapat mengeluarkan penetapan yang isinya memerintahkan pada Pemohon dan Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang disengketakan.
Akil Mochtar dalam acara ini menyampaikan materi ihwal “Mahkamah Konstitusi dan Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.” Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa pada dasarnya peraturan MK tentang PHPU yang telah diterbitkan sekedar sebagai pedoman dan kelancaran persidangan saja. “Karena hukum acara yang diatur sangat sumir dan sangat terbuka untuk penyempurnaan.”
Tema tentang “Negara Hukum Pancasila, dan Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara,” disampaikan oleh Harjono. Dalam paparannya, ia mengatakan bahwa Pancasila merupakan way of life atau jalan hidup bangsa Indonesia. “Oleh karena itu, jangan ragu-ragu dalam menjalankan Pancasila sebagai dasar negara,” pesan Harjono.
Sesi terakhir disampaikan oleh Anwar Usman. Dia berbicara terkait dengan “Mahkamah Konstitusi dan Kewenangan Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Menurutnya, pemakzulan sebelum amandemen UUD 1945 tidak diatur dalam batang tubuh UUD 1945. “Ketentuan yang lama hanya mengatur tentang Pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan suara terbanyak.” (Shohibul Umam/mh)