Satuan Pelajar Siswa dan Mahasiswa Pemuda Pancasila, Jumat (24/2), mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesempatan itu, mereka yang berjumlah puluhan orang tersebut datang ke MK, dalam rangka menjalankan kunjungan ilmiah dalam tema “Silaturrahmi dan Dialog Interaktif Konstitusi Ditinjau dari Nilai-Nilai Luhur Pancasila.”
Staf Ketua MK sekaligus Peneliti pada Puslitka MK Fajar Laksono, menerima langsung kedatangan dari Satuan Pemuda Pancasila itu. Dia juga dalam kesempatan itu, menyampaikan materi terkait dengan makna Pancasila dan metode yang digunakan MK selama ini dalam bersidang.
Dalam mengawali materinya, Fajar mengatakan bahwa sebenarnya reformasi terjadi disebabkan saat kondisi negara dalam posisi tidak demokratis, negara dalam keadaan otoriter, dan pembicaraan tentang Pancasila menjadi mengendur. “Sehingga saat itu ingin mengubah dari posisi yang tidak demokratis ke posisi yang lebih demokratis, termasuk kebebasan berserikat, kebebasan mengutarakan pendapat,” terangnya.
Namun sayangnya, lanjut Fajar, sampai sekarang pun kita berada dalam masa transisi demokratis. Padahal, kalau melihat dari teori, transisi demokrasi selesai kalau sudah melewati 2 kali Pemilihan Umum. Tetapi teori tersebut tidak berlaku, karena masyarakat Indonesia sekarang ini sudah demokratis, tetapi masih tetap ada anarkisme.
Sama halnya dengan kebijakan otonomi daerah, kata dia, kebijakan tersebut sebenarnya baik untuk mendekatkan kepala daerah ke masyarakat, tetapi otonomi daerah dipahami berbeda oleh pihak-pihak tertentu. “Para bupati seolah-olah berhak mengelola daerahnya,” ungkapnya. “Dalam kondisi seperti itulah nilai-nilai Pancasila agak mengendur,” tambanya.
Lebih lanjut, Fajar menuturkan bahwa sejarah mencatat sejak berdirinya bangsa ini, Pancasila dianggap sebagai kesepakatan bersama. Nilai-nilai Pancasila tampak menjadi spirit konstitusi, menjadi sebuah kebaikan etnis, dan kebaikan moral. Semua hal tersebut sebenarnya sudah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. “Kemudian oleh para Pendiri Negara, dirumuskan dalam menyusun UUD 1945 dalam syarat pendirian negara,” ungkapnya.
Terlebih lagi, Fajar menambahkan, Pancasila sudah teruji secara teoritis, politik, ataupun yang lain. Kalau kita cermati dalam perjalanan bangsa, Pancasila pernah ingin diganti sebagai ideologi. Namun, keberadaan Pancasila sampai sekarang masih ada. “Ini berarti masih terbukti, Pancasila masih sempurna dan cocok dengan kultur dengan kondisi masyarakat Indonesia,” paparnya.
Lebih jauh lagi, Fajar melanjutkan, dalam Pancasila itu sendiri, ada beberapa kaidah penuntun hukum, diantaranya hukum dibuat untuk mencegah integrasi teritorial maupun ideologi. Kemudian, hukum juga dibuat untuk menyeimbangkan demokrasi dan nomokrasi. “Demokrasi itu kan cenderung liar. Oleh karena itu di dalam demokrasi diperlukan hukum,” jelasnya. Kaidah yang lain adalah Pancasila harus menjamin toleransi, dan Hukum harus menjamin keadailan sosial.
Itulah kemudian, sejumlah kaidah penutun hukum tersebut juga diterapkan oleh MK. Maksudnya, lembaga tersebut dalam melaksanakan kewenangan dan kewajibannya menerapkan hukum yang berkeadilan. “Dalam hal ini, ketika aturan tertulis tidak menyelesaikan persoalan yang ada dalam negeri ini, khususnya dalam persidangan. Maka, hakim akan melakukan jalannya sendiri untuk mencapai keadilan. Dan mengesampingkan hukum yang menghalangi proses terjadinya keadilan,” ucapnya. (Shohibul Umam/mh)