Masalah kepemimpinan kita, banyak pemimpin yang tidak mengetahui keadaan lapangan, atau tahu dengan keadaan, tetapi tidak mampu memberikan harapan dan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Demikian ditegaskan ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD dalam acara Halaqoh Nasional Alim Ulama yang diadakan oleh Majelis Syari’ah DPP Partai Persatuan Pembangunan. “Salah satu persoalan besar kita sekarang adalah penyakit disorientasi,” kata Mahfud.
Kita tidak tahu hendak kemana dan mau dibawa kemana bangsa ini oleh pemimpin. Disorientasi kepemimpinan maupun disorientasi ideologi berakibat pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin. Setiap pemimpin berbicara selalu dibantah dan diejek, dan setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu ditentang. Itu hampir terjadi dimana-mana. Jika hal ini tidak dihentikan akan menimbulkan pembangkangan dan perlawanan terhadap aparat dan pemerintah, seperti kasus Bima. Pembangkangan jika tidak segera diselesaikan akan berakibat disintegrasi, yaitu hancurnya kita sebagai bangsa.
Masalah kita terang Mahfud, nampak didalam pemberitaan media massa, seperti proses kemunculan pemimpin selalu menggunakan survei. Tetapi ada yang kurang tepat dari survei tersebut, survei yang ada selalu didasari pada tiga hal, satu popularitas, siapa yang populer, dan kedua akseptabilitas, banyak orang yang populer tapi tidak dapat diterima, dan yang ketiga elektabilitas, yaitu kemungkinan terpilih. Biasanya seseorang yang memiliki akseptabilitas dan elektabilitas tinggi ditetapkan sebagai pemimpin, namun biasanya dalam survei itu mengesampingkan orang-orang yang tidak populer. Dan celakanya, saat ini survei dapat dibeli untuk kepentingan politik.
Menurutnya, popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas itu penting, akan tetapi ada syarat lain yang harus ditambahkan, yaitu visioner. Pemimpin yang tidak memiliki visi akan kebingungan menentukan arah dan tidak mengetahui kebutuhan masyarakat. Jika seperti itu yang terjadi, maka pendapat Plato akan menjadi nyata bahwa demokrasi tidak lagi dipercaya, karena banyak demagog atau pembohong yang mengkhianati kepercayaan pemilih. “Syarat lain yang harus ditambahkan sebagai kriteria pemimpin adalah kapabilitas dan kepemimpinan,” lanjut Mahfud.
Dalam acara dengan tema “Menatap Tantangan, Menimbang Kepemimpinan Nasional”, ditegaskan Mahfud, setiap pemimpin di Indonesia harus memiliki pandangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana pemimpin harus menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang menjadi fitrah bangsa Indonesia. Maka siapapun menjadi pemimpin, tidak boleh membiarkan, apalagi mendorong terjadinya perpecahan diantara ikatan-ikatan primordial yang ada. Kekhawatiran banyak orang di Indonesia, visi kesatuan ini sekarang sedang terganggu, dan yang dipelototi biasanya kelompok Islam. Namun harus disadari, karena Islam di Indonesia toleran, maka Indonesia tetap utuh hingga saat ini. Kalau umat Islam ngotot, mau menang-memangan, maka Islam yang berkuasa. Ummat Islam pro NKRI dan ini tidak haram, dan para ulama ikut menentukan di situ.
Mantan Menteri Pertahanan RI masa Presiden Gus Dur ini mengingatkan, beberapa waktu lalu Pendeta Jones di Amerika mengatakan benci kepada Islam, dan akan membakar Al-Qur’an karena dianggap sumber terorisme. Lalu tokoh-tokoh Islam di Indonesia banyak meminta kepada tokoh-tokoh gereja untuk mengingatkan Pendeta Jones agar tidak membakar Al-Qur’an. Dan, disampaikan oleh tokoh-tokoh gereja, jika tidak ingin diperlakukan seperti itu maka hargailah berbagai kelompok minoritas. “Jika kita ingin tolerasi di sana, maka kita juga harus toleran di sini, sebab Tuhan menghendaki kita berbeda-beda,” tambahnya
Diungkapkan pria kelahiran Sampang itu, visi berikutnya yang harus dimiliki pemimpin adalah masyarakat adil dan makmur dan ekonomi kerakyatan juga suatu visi. Pemimpin harus proporsional, disamping harus memberikan pelayanan, baik kepada kelompok mayoritas, juga harus melayani kelompok minoritas. Hal pertama yang diperintahkan Tuhan kepada Rasulullah adalah tauhid, iman, dan Islam. Tapi hal kedua yang diperintahkan adalah politik, yaitu menegakkan keadilan, dengan melawan struktur sosial yang tidak adil. Keadilan sosial dibangun dahulu, baru perintah sholat, puasa zakat dan haji yang turun kemudian.
Mahfud juga menyampaikan, beberapa waktu lalu berdialog dengan seseorang yang mengatakan politik itu kotor, namun didalam kekotoran politik itu vital. Politik tidak selalu kotor. Saat ini mungkin kotor kata Mahfud, akan tetapi pada era 50-an, politik itu bersih, dimana pemimpin politik selalu meminta pertimbangan apakah suatu kebijakan itu baik atau tidak. Berbeda dengan saat ini yang selalu meminta dukungan atas suatu kebijakan.
Visi pemimpin lainnya adalah mampu mengadaptasikan Indonesia dengan perkembangan global, sebab menurut Mahfud, globalisasi tidak bisa dihindari. Setiap orang dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Visi global penting agar seorang pemimpin mampu menjaga identitas bangsa. Seorang pemimpin juga harus dapat menjaga martabat bangsa, seperti yang dilakukan Bung Karno yang tidak membiarkan bangsa Indonesia dihina negara lain. Disamping menjaga martabat, pemimpin juga harus mampu menumbuhkan kebersamaan di kalangan masyarakat.
Kita memiliki potensi untuk maju. Dalam catatan Bill Clinton dan Jimmy Carter terhadap pemilu 1999, ingat Mahfud, bahwa Indonesia yang mayoritas Islam bisa berdmokrasi tanpa konflik dan ternyata Islam cocok dengan demokrasi. Contoh terbaik antara Islam dan demokrasi adalah Indonesia. Kekayaan alam Indonesia juga dapat membuat Indonesia maju jika dikelola dengan baik. Letak geografis yang strategis juga memberikan keuntungan tersendiri. Ummat muslim Indonesia yang moderat, dan wilayah Indonesia yang menguasai separuh wilayah Asia Tenggara, menjadi perhatian tersendiri bagi negara-negara maju. (Ilham/ mh)