Mantan Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengakui adanya inkonsistensi pasal pada UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang digelar pada Kamis (23/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Kehadiran Bambang dalam sidang yang diketuai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD dalam kapasitasnya sebagai saksi yang dipanggil oleh MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan Dua Puluh Delapan.
“Ada yang dirasa kurang konsisten di beberapa pasal dalam undang-undang ini (UU Penyiaran) misalnya Pasal 5 huruf g dengan Pasal 41 dalam UU tersebut,” ucap Bambang dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Bambang menjelaskan ada aturan ketat yang terkandung dalam Pasal 5 huruf g UU Penyiaran mengenai pembatasan monopoli siaran, namun dalam Pasal 41 UU Penyiaran justru memperlonggar mengenai ketentuan monopoli tersebut. Pasal 5 huruf g UU Penyiaran menyatakan “Penyiaran diarahkan untuk: (g) mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran”. Sementara Pasal 41 UU Penyiaran menyatakan “Antar lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini”.
Menanggapi pertanyaan mengenai UU tersebut yang sempat berlaku tanpa disahkan oleh Presiden selama 30 hari, Bambang mengungkapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI saat itu menganggap UU tersebut tidak memberikan kemajuan apapun dalam dunia penyiaran Indonesia. “Ketentuan yang dimohonkan Pemohon sesungguhnya merupakan ketentuan yang ragu dan menimbulkan upaya distorsi dalam menyatakan pendapat atau mengakses informasi seperti yang diatur dalam UUD 1945,” ujar Bambang.
Dalam sidang yang beragendakan mendengar keterangan Ahli dan Saksi berbagai pihak, Komisi Penyiaran Indonesia selaku Pihak Terkait menghadirkan Mantan Politikus PKB Effendy Choirie. Effendy mengungkapkan, adanya upaya untuk mengabaikan UU tersebut dengan cara apapun. Misalnya saja, lanjut Effendy, dengan adanya izin kepemilikan frekuensi yang bisa dimiliki lebih dari satu. “Pengalihan izin bertentangan dengan semangat menggunakan frekuensi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Seharusnya tidak diperbolehkan adanya pengalihan izin dari satu orang ke orang lainnya. Jika frekuensi tersebut sudah ‘meninggal dunia’, seharusnya tidak diambil oleh orang lain, melainkan harus dikembalikan kepada negara,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Hendrayana, meminta pengujian Pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4)UU No.32/2002 tentang Penyiaran terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Selain itu, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menghilangkan asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran yang secara prinsip bertentangan Pasal 28F UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)