Sidang lanjutan pengujian terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan RI) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (21/2). Sidang perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 2/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Djailudin Kaisupy.
Pada sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR tersebut, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III DPR Azis Syamsudin mengemukakan tidak sependapat dengan alas an-alasan yang diungkapkan Pemohon dalam permohonannya. Menurut Azis, kewenangan kejaksaan sebagai penyelidik sudah diatur dalam Pasal 26 UU 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). “Penyelidikan, penyidikan hanya dilakukan berdasarkan KUHAP. Dalam Pasal 28 KUHAP, jaksa memiliki kewenangan menyelidiki tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Azis juga menjelaskan DPR berpandangan tidak sependapat dengan alasan pemohon yang berpendapat adanya multitafsir dan disharmonisasi hukum tentang kewenangan jaksa sebagai penyelidik ataupun sebagai penuntut umum. “DPR tidak sependapat dengan Pemohon karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dalam Pasal 17 secara tegas menyebutkan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Pasal inilah yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan selaku tindak pidana korupsi,” paparnya.
Sementara DPR mengemukakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) seperti yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 24/2003 tentang MK. Berdasarkan permohonan, Pemohon terlihat ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan. “Dalam poin (8), Pemohon menguraikan telah terjadi disharmonisasi hukum tentang kedudukan dan kewenangan jaksa sebagai penyidik atau penuntut umum. Menurut pemerintah, pemohon telah salah mengajukan permohonan ini kepada Mahkamah karena dalil-dalil yang disampaikan Pemohon dengan mengaitkan antara ketentuan Pasal 31 huruf d UU Kejaksaan dengan ketentuan yang di depan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kejaksaan, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU No. 30 Tahun 2000 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi, menunjukan bukan kewenangan MK untuk memeriksa permohonan tersebut karena kewenangan MK adalah menguji kesesuaian UU terhadap UUD 1945 bukan menguji kesesuaian isi UU yang satu dengan UU lainnya. Pemohon tidak cermat bahwa UU No. 30/2002 adalah bukan UU Tipikor, melainkan UU KPK,” urai perwakilan Pemerintah.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 30 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jika dihubungkan dengan KUHAP tugas dan kewenangan jaksa sebatas menjadi penuntut umum bukan mengambil alih kewenangan sebagai penyidik yang merupakan kewenangan kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pemohon mendalilkan jika tidak pidana korupsi ditangani oleh jaksa hasilnya tidak akan maksimal karena jaksa tidak memiliki keahlian dan pendidikan khusus sebagai penyidik, sehingga dalam pelaksanaan kewenangannya tidak mempertimbangkan bukti permulaan, tidak dilakukan permintaan lembaga auditor untuk menghitung kerugian negara terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka, pemeriksaan didahului dengan permeriksaan terhadap tersangka baru terhadap saksi dan melakukan penyitaan terhadap barang bukti tanpa ada ijin dari ketua pengadilan negeri. (Lulu Anjarsari/mh)