Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak perkara pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Putusan dengan Nomor 78/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan didampingi oleh enam hakim konstitusi pada Selasa (21/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini dimohonkan oleh Endang Srikarti Handayani, Sugeng Purwanto, dan Sutriyono. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tandas Achmad Sodiki.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU 37/2004 khususnya pada frasa “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor,” beserta Penjelasannya menjadi dasar Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan Pemohon I selaku kurator tidak diberikan imbalan jasa kurator. Karena adanya benturan kepentingan yaitu hubungan suami istri kurator dan kuasa kreditor, lanjut Hamdan, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
“Mahkamah berpendapat, pasal a quo justru sangat penting dalam rangka menjamin ketidakberpihakan dan menjamin kurator bekerja secara jujur dan profesional (prinsip fairness). Apabila kurator tidak independen dan mempunyai benturan kepentingan dalam menjalankan tugasnya, maka sangat potensial merugikan salah satu pihak, baik debitor, kreditor maupun pihak lain. Pasal a quo juga tidak berarti membatasi warga negara untuk menjadi kurator yang ditunjuk untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit asalkan berpegang teguh pada prinsip independensi dan menghindarkan diri dari kemungkinan adanya benturan kepentingan sehingga dapat bekerja secara profesional dan adil serta tidak merugikan salah satu pihak. Terhadap tidak diberikannya imbalan jasa kurator kepada Pemohon I, Mahkamah berpendapat, hal demikian bukanlah merupakan permasalahan konstitusional yang terdapat dalam pengujian ketentuan a quo,” jelas Hamdan.
Selain itu, Hamdan memaparkan bahwa para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU 37/2004 khususnya pada frasa “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor,” beserta penjelasannya bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan demikian juga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Diskriminasi, terang Hamdan, harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan pandangan politik.
“Berdasarkan ukuran diskriminasi sebagaimana diuraikan di atas, maka dalil mengenai kurator harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU 37/2004 dan Penjelasannya bukanlah diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi yang merupakan pendirian Mahkamah. Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Hamdan.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Mahkamah berkesimpulan para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. “Dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan hukum,” terang Sodiki. (Lulu Anjarsari/mh)